Sapaan ketua Sekolah Tinggi pastoral Atma Reksa
Ende
Yang saya hormati Bapak Kepala Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Ende;
Yang saya hormati utusan dari instansi-instansi
pemerintahan Kabupaten Ende;
Yang saya hormati utusan dari perguruan tinggi
yang ada di Kabupaten Ende;
Yang saya hormati para dosen dan tenaga
kependidikan, singkatnya civitas akademika STIPAR yang saya kasihi.
Saya ingat kata-kata Yohanes Paulus II, beliau
mengatakan: agama Katolik bukan saja agama ide, tetapi agama yang percaya
kepada Allah yang bertindak, yang selanjutnya akan menghasilkan para
penganutnya yang juga mampu bertindak mampu bersaksi dalam kehidupan nyata.
Kata-kata tadi menginspirasi kita sekalian
khususnya warga gereja untuk melihat bahwa ada kaitan yang sangat kuat antara
iman dan kehidupan.
Selanjutnya pada tataran refleksi teologis
pastoral, karya pastoral itu akan menjadi karya pastoral yang sungguh-sungguh
menjawab kebutuhan umat kalau bertolak dari realitas konkret. Itulah sebabnya
dalam karya pastoral gereja, karya pastoral ini disebut sebagai karya pastoral
inkarnatoris, karya pastoral yang bertolak dari realitas konkret.
Karena itu, karya pastoral yang dirancang dan
dilaksanakan adalah karya pastoral yang sungguh-sungguh berangkat dari
pergumulan umat. Termasuk di dalamnya umat yang mengalami masalah, salah
satunya masalah migran dan perantauan.
Dalam perjalanan gereja, konsep pastoral
inkarnatoris telah diaplikasikan dalam sekian banyak dokumen-dokumen gereja,
dan salah satunya dokumen gereja yang sudah kita kenal, Ajaran Sosial Gereja.
Dan kalau kita lihat Ajaran Sosial Gereja sejak awal Rerum Novarum dari Paus
Leo XIII tahun 1891 sampai dengan dokumen dari Paus Fransiskus Laudato Si
semuanya berbicara tentang hal-hal kecil nyata, pergumulan nyata yang mesti
juga menjadi kepedulian kita semua, kepedulian masyarakat, kepedulian gereja
pada umumnya.
Kegiatan seminar kita pada hari ini dilaksanakan
untuk menandai wisuda STIPAR angkatan ke 25 dan kegiatan ini dilaksanakan
dengan satu tujuan untuk membangkitkan sikap solidaritas kita semua kepada sama
saudara kita yang terlilit oleh berbagai macam masalah dan salah satunya
masalah migran dan perantauan.
Oleh karena itu saudara-saudara sekalian, pada
kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang pertama kepada
Romo Eko dan Romo Benny yang bersedia menerima undangan STIPAR untuk mengadakan
seminar nasional pada hari ini. Mudah-mudahan seminar kita pada hari ini akan
juga membangkitkan kepedulian kita khususnya para mahasiswa mahasiswi dan
secara istimewa lagi mahasiswa yang akan diwisuda besok.
Mudah-mudahan momen akademis pada hari ini juga
akan menjadi hal yang berharga bagi adik-adik untuk selanjutnya berkarya di
tengah umat, dan saya yakin anda semua bisa melihat masalah migran dan
perantauan menjadi salah satu fokus perhatian pastoral di dalamnya anda
bergumul, anda berjuang nanti di paroki ketika pastor paroki memberikan
kesempatan kepada anda untuk berkarya, mudah-mudahan tema ini menjadi fokus
perhatian anda mulai dengan hal-hal yang paling sederhana mendata, lalu
kemudian bisa memberikan pandangan-pandangan yang berharga, yang bernilai
sehingga umat kita yang mengalami masalah ini bisa dibantu.
Oleh karena itu, saudara-saudara sekalian, saya
ingin menyampaikan kepada kita sekalian untuk memanfaatkan momen ini sebagai
momen pembelajaran. Saya yakin dua pembicara ini adalah pembicara yang punya
pengalaman yang banyak sekali tentang tema yang satu ini.
Itu saja yang boleh saya sampaikan pada acara
pembukaan seminar ini. Mudah-mudahan seminar ini membawakan hasil yang maksimal
bagi kita. Kita semua pada akhirnya memiliki komitmen sosial untuk senantiasa
tekun dan setia membantu umat kita yang mengalami masalah-masalah sekitar
migran dan perantauan. Sekian dan terima kasih.
MC: Rm. Aurelius Woi Bule
Hadirin sekalian, sekarang kita mendengarkan
arahan awal proses seminar dan keseluruhan seminar ini dari penanggungjawab
Romo Yetra Koten. Pada Romo dipersilahkan.
RD. Yohanes Baptista A. Koten
Realitas, dan saya memulai dengan rasa haru saya
ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya hampir jatuh air mata ketika
lawatan kekerabatan bagi kaum migran beberapa waktu selama bulan April
ini.
Ada satu kisah yang menurut saya menyayat hati
saya. Dalam satu kesempatan mengunjungi mereka di sebuah komunitas untuk
memotivasi keluarga-keluarga migran kita ini, kami mengantar pulang mereka ke
tempat mereka bekerja.
Di luar dugaan, jam satu malam, polisi mencegat
kendaraan kami dan memeriksa dalam kendaraan. Dan dua dari antara kami di dalam
mobil L 300 itu terpaksa harus turun dan saya harus melihat persis apa yang
dilakukan oleh mereka: harus berlutut dan tangan di belakang kepala. Saya
sedih, apa yang harus dilakukan.
Saya juga ingat seorang mahasiswi STIPAR yang
besok diwisuda, saya omong jujur saja namanya Lus, orang tuanya berada di Johor
bertahun-tahun dan saya yakin juga hadir di sini menyaksikan anaknya mengalami
peristiwa istimewa ini, diwisuda.
Realitas yang menggembirakan, realitas yang
menyayat hati. Proses hari ini saya yakin juga menunjang sebuah kehendak baik
kita semua dari apa yang disampaikan oleh ketua STIPAR tadi. Kita bergandengan
tangan, bahu membahu untuk suatu hal yang berkenan baik untuk membantu warga
kita yang terjebak dalam persoalan-persoalan seputar tidak berdokumentasi ini.
Paus punya dokumen terakhir itu arahan pastoral tentang perdagangan manusia,
selain yang terakhir disebutkan oleh Romo ketua tadi.
Bapak Kepala Kementerian Agama Kabupaten Ende
yang terhormat;
Romo Ketua STIPAR;
Utusan-utusan dari institusi pemerintahan yang
sempat hadir;
Juga utusan dari perguruan tinggi, para
undangan, para dosen,
kedua Romo narasumber:
Romo Benny Hary Juliawan, SJ, dari Serikat
Yesus. Menyebut SJ ini saya merasa kecil,
Romo Eko, O.Carm, juga menyebut ini secara
spiritual saya merasa diteguhkan oleh orang Karmel ini.
Semua kita yang hadir, arahan kami sebagai
penanggungjawab ada tiga bagian: pertama saat ini, tidak lama, setelah itu kita
mengikuti proses diskusi yang ada, dan selanjutnya ada selingan, minum, dan ada
arahan terakhir sebentar.
Kita jalani saja prosesnya, dan mengawali arahan
pertama ini saya ingin mulai dengan: kenapa judulnya STIPAR peduli migran
perantauan. Setahun lalu kami para dosen bincang-bincang, kita mungkin perlu
buat sebuah seminar nasional. Dan kita mencari tema. Waktu itu muncul dua tema:
komunikasi menanggapi munculnya generasi milenial seperti kotbah bapak Uskup
kemarin, berkaitan dengan munculnya media-media baru yang saat ini juga kita
gunakan dalam kerjasama dengan komsos Keuskupan Agung Ende, atau yang sekarang
lagi hangat dibicarakan di NTT: masalah migran, PMI, Pekerja Migran Indonesia,
terutama yang tidak berdokumen.
Dan kami bagi tugas, saya mendekati narasumber
bekerjasama dengan pihak-pihak dalam jejaring urusan migran perantau, termasuk
yang sering memulangkan jenazah. Jenazah yang pertama kali dipulangkan dari
Ende, bapak Bernadus Titus, kami pertama bersama-sama mengantar sampai di
kampungnya bapak Titus. Dan terus-menerus sampai sekarang dalam jejaring
kerjasama masih tetap berusaha memulangkan. Dan menyedihkan, terakhir seluruh
komponen yang bekerjasama ini berjuang keras supaya jenazah migran berasal dari
Dito paroki Wolotolo untuk dipulangkan lewat pesawat ternyata ditolak oleh N*M
Air dan harus dipulangkan dengan jalur fery Ende.
Ada banyak kisah pilu, ada banyak juga kisah
yang membesarkan hati. Mari kita berproses dalam peristiwa hari ini. Mari kita
menjadi orang yang tanggap dan terlibat dalam seluruh diskusi yang ada. Ini
saja arahan awal dari kami, terima kasih.
MC: hatiku pilu rasanya, deraian air mata
mulai........? (Hadirin tertawa). Baik minta maaf para undangan, saya melihat
segenap mahasiswa ketika penanggungjawab mengungkapkan kisah-kisah riil tadi
semuanya tarik nafas dalam-dalam, termasuk saya. Selanjutnya kita masuk pada
sesi yang pertama yang akan dipandu oleh Romo Eko. Kepada moderator kami
persilahkan untuk mengambil tempat di meja seminar.
Selamat pagi semua, yang terhormat Bapak Kepala
Kementrian Agama Kabupaten Ende;
Yang terhormat Romo Ketua STIPAR Atma Reksa
Ende, utusan dari instansi-instansi terkait di Kabupaten Ende, para dosen,
mahasiswa, civitas academica dan para peserta seminar yang kami kasihi.
NTT atau Flores itu menjadi daerah asal para
migran ya, kantong-kantong migran termasuk di keuskupan kita. Dan ketika kita
berbicara tentang migran perantau, gereja itu punya tugas untuk memperhatikan
mereka.
Tugas dan tanggungjawab gereja tidak hanya
tentang kesucian spiritual, kesucian rohani, berdoa, berdevosi, merayakan
Ekaristi, tapi bagaimana doa Ekaristi itu berbuah dalam kehidupan. Karena itu,
gereja juga punya tugas untuk menghayati kesucian sosial.
Kesucian sosial ini yang mesti dinyatakan dalam
bentuk kepedulian, solidaritas terhadap sesama saudara kita, terhadap umat yang
mengalami masalah, di antaranya para migran dan perantau. Dengan demikian,
gereja dipanggil untuk terlibat untuk peduli terhadap para migran dan perantau.
Kepedulian atau care itu merupakan salah satu
sikap dasar gereja ketika berpastoral di tengah para migran dan perantau selain
hospitality atau keramahtamahan dan penerimaan (acceptance). Karena itu, gereja
mesti menampilkan dirinya sebagai gereja Yesus Kristus, bukan gereja Pilatus
yang cuci tangan ketika menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan.
Para hadirin sekalian, para peserta seminar
terkasih, tema seminar nasional STIPAR Ende Peduli Migran Perantau: Apa yang
Harus Dilakukan. Untuk membedah tema ini telah hadir di tengah kita Romo Benny,
seperti sudah diperkenalkan oleh Romo Yetra tadi, salah seorang yang punya
hati, punya perhatian terhadap para migran perantau Flores.
Kita Flores ini untuk Romo Benny bukan tempat
yang baru. Beliau sering datang, kami sering bertemu dan berdiskusi untuk
menangani persoalan migran dan perantau. Karena itu, Romo Benny akan
mempresentasikan tema tentang: Karakteristik Migrasi di NTT. Apa dan bagaimana
karakteristik migran kita ini nanti akan dibedah oleh Romo Benny. Karena itu
waktu yang seluas-luasnya saya serahkan kepada Romo Benny. Silahkan. Romo nanti
jangan lupa memperkenalkan diri juga ya.
Romo Beni
Para Romo, bapak ibu yang terkasih dan
rekan-rekan mahasiswa, selamat pagi. Tadi saya diminta memperkenalkan diri
lebih dahulu. Maka saya akan mulai dengan itu. Nama saya Benediktus Harry
Juliawan, panggilan saya Benny. Sebenarnya tadi saya diperkenalkan sebagai
koordinator karya SJ untuk migrasi di Asia Pasifik, itu benar sampai tahun
lalu.
Tetapi sejak tahun lalu saya mendapat tugas
baru, pindah ke Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Jadi sekarang saya
mengajar di program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma di Yogyakarta. Tetapi sejak enam tahun lalu memang benar bahwa saya
bekerja untuk persoalan migrasi dan terutama saya punya minat pribadi dengan
NTT, karena ada sejarah kecil dengan NTT ini.
Kembali ke tahun 2001, saya bekerja di
perbatasan Timor Timur - Timor Barat, tepatnya di sebuah desa namanya Betun di
Malaka. Katanya sekarang sudah menjadi kabupaten. Waktu itu hanya kota
kecamatan kecil saja. Hanya ada tiga warung di sana, satu warung Lamongan, satu
warung Padang, dan satu bakso Wonogiri (mahasiswa tertawa). Saya hafal semua
warung karena makan giliran tiga kali sehari di tempat-tempat itu.
Waktu itu saya bekerja untuk para pengungsi
Timor Leste yang menetap di Timor Barat. Nah, di situlah saya pertama kali
terlibat dengan NTT. Maka ketika saya mulai meneliti mengenai persoalan
migrasi, hal pertama yang muncul dalam benak saya adalah NTT. Karena masih
punya ikatan, saya merasa masih punya ikatan emosional dengan NTT. Dan itulah
sebabnya saya fokus dan punya perhatian khusus pada migrasi di NTT.
Nah, sebelum saya mulai presentasi ini, saya
akan bertanya pada mahasiswa ya, nanti tolong tunjuk jari. Siapakah di antara
para mahasiswa di sini yang saudaranya, entah itu keluarganya entah itu orang
tua, kakak, adik, oom, paman, sepupu, yang pernah bermigrasi atau sedang
bermigrasi ke luar negeri? Tolong tunjuk jari yang pernah bermigrasi atau
sedang bermigrasi ke luar negeri. Oke, terimakasih. Sekarang tolong tunjuk
jari, kalau tadi keluarga besar, sekarang saya mau tanya yang kakak atau
adiknya, jadi keluarga inti, kakak atau adiknya bermigrasi? Ada juga.
Sekarang, yang terakhir, tolong tunjuk jari, siapa di antara para mahasiswa
mahasiswi ini yang orang tuanya bermigrasi? Banyak ya. Terimakasih.
Dengan demikian, yang mau kita bicarakan pagi
ini bukan barang dari luar sana, bukan perkara orang lain. Ini perkara kita
semua yang ada di sini. Kita semua ada hubungan dengan peristiwa migrasi, kita
semua kena pengaruh, kena akibat peristiwa migrasi.
KARAKTERISTIK MIGRASI NTT
Pagi ini saya mau bicara terutama mengenai yang
saya sebut sebagai karakteristik atau ciri-ciri umum migrasi yang unik atau
yang khas untuk kita orang NTT.
Migrasi Tanpa Dokumen
Ciri-ciri pertama atau karakteristik yang
pertama adalah migrasi mandiri tanpa dokumen. Jadi sudah disebut berkali-kali
oleh Romo Yetra dan Romo ketua menyatakan, ini adalah ciri yang menonjol dari
migran asal NTT yaitu migrasi tanpa dokumen. Istilah umum yang dipakai adalah
migrasi ilegal. Tetapi saya sengaja tidak mau memakai istilah ilegal. Karena
ilegal itu artinya hanyalah bahwa ini tidak resmi secara hukum. Nanti justru
saya akan mempersoalkan soal resmi atau tidak resmi itu. Tapi tunggu saja ya.
Saya mau mengatakan bahwa istilah yang saya pakai adalah migrasi tanpa
dokumen.
Provinsi NTT secara nasional menduduki peringkat
tujuh atau delapan sebagai pengirim PMI atau TKI secara resmi. Dan sebagian
besar, saya katakan: sebagian besar migran asal NTT ini tanpa dokumen. Sekadar
ilustrasi, dokumen dengan tanpa dokumen itu, kalau dokumen tercatat di dinas
terkait, berarti tercatat di dinas tenaga kerja.
Sejak empat tahun yang lalu saya meneliti khusus
di daerah Ende ini. Dan jumlah TKI atau PMI yang berangkat tercatat di Disnaker
kabupaten Ende selama 2010-2015 selama lima tahun itu adalah 1138 orang. Yang
tercatat selama lima atau enam tahun itu adalah 1138. Tetapi kalau kita pergi
ke desa-desa langsung tanya atau di ruangan ini, tadi ya, kita bertanya, berapa
orang yang saudaranya pergi ke luar negeri, kakak adiknya pergi, bahkan orang
tuanya pergi di ruangan ini saja sudah banyak jumlahnya.
Maka bisa disimpulkan data dari Disnaker
kabupaten Ende ini tidak mencakup seluruh migran. Bahkan ini hanya sebagian
kecil migran. Kebanyakan tidak tercatat. Itulah sebabnya mereka ini disebut
migran tanpa dokumen.
Nah, kalau di kelas, atau ini di kampus seperti
saya di kampus juga, kalau satu kelas mahasiswa saya ujian nilainya semua D,
nilainya baik B atau A itu hanya satu atau dua orang, kira-kira yang salah
siapa itu, mahasiswa atau dosennya? Dosen ya. Artinya dosen tidak bisa mengajar
sehingga nilai mahasiswa kebanyakan jelek. Kalau yang jelek nilainya hanya satu
atau dua orang, berarti yang salah mahasiswa yang tidak belajar.
Sama saja dengan migrasi ini. Kalau sebagian
besarnya itu migrasi tanpa dokumen, pasti ada sesuatu yang salah dengan proses
migrasi kita, dengan aturan migrasi kita, dengan kinerja negara kita. Bukan
salah orang yang pertama-tama migrasi tanpa dokumen, karena sebagian besar
migrasi tanpa dokumen. Maka tidak cukup migrasi NTT dipahami sebagai persoalan
pelanggaran hukum atau pelanggaran peraturan. Ada sesuatu yang lebih
mendasar.
Dan kalau kita belajar sejarah, migrasi NTT itu
bukan terjadi lima atau sepuluh tahun yang lalu. Migrasi asal NTT terutama ke
Malaysia itu sudah terjadi paling tidak seratus tahun terakhir. Sebelum ada
negara Malaysia, sebelum ada negara Indonesia. Orang-orang NTT itu sudah
bermigrasi ke Kalimantan utara yang sekarang namanya Sabah dan Sarawak
misalnya.
Mereka didatangkan oleh pemerintah kolonial
Inggris yang waktu itu berkuasa di dataran Kalimantan utara yang sekarang kita
sebut Sabah dan Sarawak sebagai tenaga perkebunan. Dan kemudian mengalir
pelan-pelan generasi per generasi dan karena ini sudah sifatnya.
Tradisi migrasi ini banyak orang memakai istilah
sebagai migrasi tradisional atau migrasi kultural. Dengan kata lain, sebelum
ada peraturan migrasi, sebelum ada batas-batas negara yang jelas seperti
sekarang.
Dan mengapa ciri migrasi tanpa dokumen ini terus
berlangsung sampai hari ini? Karena sudah kebiasaan, sudah terbentuk
infrastruktur migrasi. Infrastruktur migrasi ini bukan dinas tenaga kerja,
bukan kementerian imigrasi, bukan polisi air, bukan polisi udara, bukan petugas
perbatasan. Bukan. Infrastruktur migrasi tradisional itu adalah komunitas NTT
yang tersebar di sepanjang jalur migrasi antara Indonesia - Malaysia.
Ada sekitar lima koridor migrasi NTT ke Malaysia
itu. Dan di sepanjang koridor ini ada komunitas NTT. Nah, besok-besok kalau
penasaran mau mencoba rasanya migrasi tanpa dokumen, meskipun saya tidak
menganjurkan, tetapi sebagai sebuah penelitian, bolehlah.
Pergilah ke perbatasan Indonesia Malaysia di
Sabah yaitu di Kalimantan utara kalau di bagian Indonesia, pergi ke Tanjung Selor.
Siapakah orang-orang di Tanjung Selor, yang banyak di sana? Orang NTT, bukan
orang Kalimantan. Anda mau menyeberang ke Tawau, terutama kalau tanpa dokumen,
dengan mudah ada banyak orang menawarkan jasanya. Siapa yang menawarkan jasa?
Orang NTT juga. Selama menunggu tiket atau orang yang mau memasukkan secara
diam-diam ke Malaysia itu, anda bisa tinggal di rumah sementara. Siapa yang
menjadi pengelola rumah sementara, siapa yang memiliki rumah sementara itu?
Orang NTT.
Semua saudara katanya. Sehingga orang NTT, orang
Ende katakanlah, yang bermigrasi ke tempat asing ini sama sekali tidak merasa
asing. Ditemani terus oleh saudara-saudara. Bahkan beberapa masih bisa
mengatakan memang kita satu famili, kita masih keluarga, kita masih sama orang
mana begitu ya, orang Ende, orang Sikka, orang Lembata, semua bisa mengatakan
begitu dan orang merasa aman, merasa ditemani dalam perjalanan ini.
Itulah sebabnya mengapa migrasi tanpa dokumen
kelihatannya melanggar peraturan tetapi menurut pengalaman orang yang melakukan
migrasi ini, ini proses yang murah. Tidak perlu cari dokumen, dokumen itu mahal
ya saudara-saudari. Mencari mulai dari KTP sampai akhirnya mendapat passport,
lalu mendapatkan visa kerja, ijin kerja, nanti di Malaysia juga harus mendapat
permit kerja. Lalu ikut pelatihan di PPTKIS, mahal. Belum juga hanya mahal,
makan waktu, lalu nanti repot. Harus pergi ke sana ke mari ke sana ke
mari.
Tanpa dokumen? Besok jalan! Tiket bagaimana?
Disiapkan. Dokumen? Tidak perlu. Majikan di Malaysia juga suka karena apa,
tidak perlu banyak permit dan upahnya lebih murah lagi. Maka ini sebenarnya
menguntungkan kedua belah pihak. Migrannya senang, yang mempekerjakan juga
senang.
Itulah sebabnya sampai hari ini migrasi tanpa
dokumen itu sulit sekali dibendung. Karena baik permintaan maupun penawaran
sama-sama mendukung proses migrasi tanpa dokumen.
Memang ada resiko yaitu resiko penangkapan,
resiko deportasi, resiko eksploitasi. Tadi Romo Yetra cerita pengalaman
langsung di Malaysia malam-malam ada dua orang migran bersama yang kena razia
lalu ditangkap. Apakah akhirnya dilepas? Tanpa dokumen, ya dilepas, yaitu
bayar. Jadi polisi Indonesia polisi Malaysia sebenarnya masih bersaudara
(mahasiswa tertawa).
Di Malaysia, menurut kesaksian banyak PMI kita,
ketika mereka kena razia, mereka bisa membayar. Mulai dari 200 Ringgit sampai
1000 Ringgit. Tergantung situasi. Rata-rata ya 200-500 Ringgit. Itu yang perlu
disiapkan di kantong kalau keluar dari kongsi atau keluar dari kebun.
Sewaktu-waktu mereka ditangkap membayar itu.
Jadi, pengalaman deportasi, pengalaman
ditangkap, itu sudah pengalaman sehari-hari. Bahkan kalau kemudian diproses
hukum dan dipulangkan ke Indonesia, apakah mereka kapok? Tidak.
Saya waktu tinggal di Jakarta rajin mengunjungi
rumah singgah bagi para migran yang dideportasi. Ketika saya tanya:
bagaimana Pak, pengalamannya?
Wah, saya kemarin ditangkap, dipenjara sekian
lama.
Kapok tidak pak?
Ya, sekarang saya kapok, pastor.
Kalau besok?
Ah, belum tau, mungkin saya kembali lagi.
Saya ketemu orang yang sudah empat kali pulang
pergi Malaysia. Ada yang ditangkap tetap bisa kembali lagi. Mudahnya
keluar masuk daerah perbatasan ini lagi-lagi menunjukkan bahwa migrasi tanpa
dokumen itu tidak akan hilang. Sulit sekali dihapus. Bahkan pertanyaannya
sekarang: kalau orang kita semua mengajak, termasuk saya, sebenarnya saya juga
mengajak orang kalau migrasi mempersiapkan diri dengan dokumen, salah
satunya.
Tapi apakah migrasi dengan dokumen itu aman,
lebih aman daripada yang satunya? Saya rasa jawabannya tidak ada jaminan bahwa
selembar dokumen itu menjamin keamanan migrasi kita yang bepergian. Ini
ibaratnya begini: kita naik kapal Umsini dari Kupang ke Ende. Beli tiketnya di
mana? Ada yang beli tiket di calo, ada yang beli tiketnya di loket resmi.
Dua-duanya lalu naik kapal Umsini yang sama. Suatu saat di tengah laut misalnya
badai, kapalnya mau tenggelam. Yang pegang tiket beli dari calo sama yang beli
tiket resmi kira-kira sama-sama tenggelam atau tidak? Sama-sama
tenggelam.
Ini ibaratnya bermigrasi dengan dokumen atau
tanpa dokumen sejauh ini resikonya sama. Karena dokumen ini tidak menjamin
keselamatan. Kalau orang pegang dokumen, banyak kali di Malaysia kemudian
bekerja melebihi kontrak, dokumen tidak berlaku lagi. Akhirnya dokumen sama
saja, ada tapi tidak berlaku.
Bahkan kalau masih berlaku dokumen itu dia
diperlakukan tidak baik oleh majikan, apakah dokumen ini menolong dia, belum
tentu. Mungkin menolong kalau orangnya sudah meninggal karena jelas dipulangkan
ke mana jenazahnya. Tapi apakah kita harus menunggu sampai orang meninggal baru
dipakai, begitu ya. Maka ini pertanyaan besar untuk kita, apakah migrasi
berdokumen itu sama migrasi aman. Maka tadi saya bilang, saya tidak mau
menggunakan istilah ilegal karena istilah ilegal ini adalah istilah yang
menyesatkan. Hanya menyebut bahwa dia tidak memenuhi syarat hukum tapi
keselamatan tidak tercakup dalam istilah ilegal atau legal.
Angka Kematian dan Deportasi Tinggi
Karakteristik yang kedua, angka deportasi dan
kematian yang tinggi. Tahun 2017 ada 62, tahun 2018 ada 105 yang meninggal.
Tahun ini 2019 baru tadi Romo Yetra memberi kabar siang ini hari ini akan ada
jenazah ke-46 sepanjang 2019 yang dipulangkan. Orang Malaka, mungkin orang
Betun ya, orang Atambua. Nah, ini juga lagi-lagi unik untuk NTT. Jumlah yang
meninggal di luar negri itu tinggi. Lalu kalau kita kembali sedikit beberapa
tahun ke belakang, menurut laporan BNP2TKI, jumlah TKI yang dideportasi dari
Nunukan, perbatasan antara Indonesia Malaysia di Tawau sana. Menurut data BNP,
Nunukan, Entikong dan Tanjung Pinang adalah tiga point embarkasi. Nunukan di
Kalimantan utara, Entikong Kalimantan Barat, dan Tanjung Pinang di Riau. Di
tiga provinsi ini ada dua puluh ribu TKI yang dideportasi. Dan saya yakin
sebagian besar orang NTT.
Rute pemulangan biasanya melalui Kupang, ini
kalau jenazah ya, rutenya adalah dari Malaysia ya, dari manapun di Malaysia
dipulangkan ke Kupang. Karena Kupang adalah ibukota propinsi. Lalu dari Kupang
baru diantar ke kampungnya. Dan beberapa tahun terakhir ini pemerintah lebih
aktif memulangkan jenazah dan ini kabar baik, karena kemudian negara ikut
bertanggungjawab.
Kalau dideportasi datanya ini: 2014 ada 935 TKI
yang dideportasi dan diinapkan di rumah singgah milik kementerian sosial di Bambu
Apus Jakarta. Lalu tahun 2015, setengah tahun pertama jumlahnya sudah 700,
sebagian besar adalah NTT. Kalau ini saya tahu langsung karena setiap kali ada
migran asal NTT yang menginap di rumah singgah ini, saya dan teman-teman di
Jakarta itu dihubungi oleh pihak rumah singgah untuk datang dan untuk
menghibur, begitulah ya, untuk menguatkan saudara-saudara NTT ini. Jadi, ini
karakteristik yang kedua. Pertama tadi tanpa dokumen, yang kedua banyak
deportasi serta kematian.
Banyaknya MasalahPastoral
Nah, karakteristik ketiga ini, terutama karena
orang NTT kebanyakan adalah orang Katolik, atau orang Kristen, maka ada masalah
pastoral. Yang pertama, perpecahan keluarga karena suami istri yang terpisah.
Ini dijumpai oleh Romo Romo yang berkunjung ke Malaysia maupun yang di sini
yang memperhatikan keluarga-keluarga migran yang terpecah itu.
Mereka terpisah, suami di sana istri di sini dan
sebaliknya. Kalau orang Timor Barat rata-rata yang bermigrasi banyak perempuan.
Tapi kalau Flores ini yang bermigrasi kebanyakan adalah laki-laki. Maka kalau
di Flores kebanyakan istri yang tinggal di rumah. Kalau di Timor suami yang
tinggal di rumah. Kadang-kadang suami istri terpisah sekian lama yang terjadi
kemudian yang di tanah rantau itu menikah lagi. Tentu bukan menikah resmi. Dan
menikah tanpa ikatan sehingga pernikahannya tidak sah baik di mata sipil maupun
di mata gereja.
Nanti mungkin ada kisah mengenai para ibu yang
dari paroki Kombandaru yang sudah puluhan tahun tidak tahu kabar suaminya.
Puluhan tahun dan menunggu sampai sekarang kabar mengenai suaminya ini. Padahal
si suami ini sudah punya keluarga lagi di Malaysia. Ya, terus terang saja para
Romo, bapak ibu para mahasiswa, kebanyakan yang begitu adalah laki-laki yang
menikah lagi tanpa ijin, tanpa restu.
Kemudian orang hilang kontak. Beberapa saat
lalu, sebenarnya ada videonya singkat ya, ada wartawan dari Australia, dari
Reuters yang datang ke Timor untuk meneliti atau menyelidiki kabarnya dari
orang hilang karena migrasi pulau Timor. Dan memang terjadi banyak orang Timor
dan saya yakin juga di Flores, keluarga-keluarga di sini yang tidak tahu
keberadaan saudaranya. Ada di mana sekarang, sejak sekian tahun lalu pergi ke
Malaysia tanpa ada kabar. Di mana dia bekerja, di kota apa, pekerjaannya apa,
masih hidup atau tidak, tidak ada kabar sama sekali.
Nah, untuk mereka yang hidup bersama lalu
menikah, anak-anak yang lahir dari perkawinan di Malaysia itu tidak punya
kewarganegaraan, karena undang-undang Malaysia melarang migran itu datang
sebagai keluarga. Jadi undang-undang keimigrasian Malaysia hanya mengakui
orang-orang yang datang singel. Kalau kemudian mereka ini menikah atau hidup
bersama di Malaysia, tidak diakui oleh undang-undang Malaysia. Kalau sampai
punya anak, anak-anak itu tidak diakui sebagai warganegara Malaysia, sementara
di Indonesia anak-anak ini juga tidak tercatat.
Maka, kalau anda pergi ke Sabah terutama ini
fenomena di Malaysia Timur, Sabah Sarawak, banyak migran NTT yang berkeluarga
di sana, anak-anaknya tidak punya kewarganegaraan. Kalau tidak punya
kewarganegaraan, apa resikonya? Ya ia tidak bisa sekolah. Sekolah Malaysia itu
hanya untuk orang Malaysia. Kalau bukan orang Malaysia silahkan sekolah di
sekolah internasional. Nah, kerja kebun apa sanggup menyekolahkan anaknya di
sekolah internasional. Akhirnya hanya sekolah yang namanya di sana itu
tutorial, les privat tiga mata pelajaran saja, dua mata pelajaran saja, atau
ikut sekolah informal yang dibuat oleh gereja. Tapi sekolah informal ini ya ala
kadarnya saja, di tengah hutan begitu. Maka anak-anak ini kebanyakan tidak
berpendidikan. Ada sekitar 50.000, angka yang sering disebut oleh para
pengamat, itu di Sabah Sarawak saja. Nah, ini tiga ciri yang mau saya sebut
sebagai karakteristik migrasi asal NTT. Sekali lagi, satu adalah tanpa dokumen,
dua, tingkat kematian dan deportasi tinggi, dan ketiga, banyaknya masalah
pastoral.
Saya mau pindah sekarang ke rezim perlindungan.
Peraturan perlindungan apa yang bisa melindungi migran kita ini.
Undang-undang Tentang Migrasi
Yang pertama tentu adalah UU No. 18 Tahun 2017
tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Ini UU baru yang disahkan pada
Oktober 2017 menggantikan UU No. 39 Tahun 2004, UU yang lama. Nah, UU ini lebih
baik daripada UU sebelumnya, dalam hal seperti yang saya sebut: sudah
mengadopsi konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran, hak buruh
migran dan keluarga mereka.
Peran swasta dibatasi. Peran PPTKIS atau PJTKI
atau sekarang namanya sudah berbeda lagi dengan UU baru ini, dibatasi hanya
untuk mencari job, mencari pekerjaan, mencari kontrak dan memberangkatkan.
Tidak boleh lagi melatih. BLK tidak lagi ditangani oleh PPTKIS ini. Lalu biaya
penempatan tidak lagi dibebankan kepada calon migran, calon pekerja, tetapi
kepada majikan.
Lalu sekarang tidak semuanya diurus dari
Jakarta. Pemerintah daerah punya peranan besar. Kemudian pekerja mandiri tidak
melalui PPTKIS diakui. Menurut UU yang lama, kalau mau berangkat bekerja di
luar negri harus lewat PPTKIS atau PJTKI. Sekarang tidak lagi. Kemudian UU ini
juga melindungi tidak hanya pekerja tetapi juga keluarganya.
Ada 27 peraturan pelaksanaan yang diamanatkan
untuk dibuat peraturan badan, peraturan menteri dalam dua tahun terakhir ini.
Kalau kita lihat yang sudah-sudah, membuat peraturan pelaksanaan itu panjang
biasanya. Dan UU baru ini memberi amanat dua tahun. Sudah hampir habis ini dua
tahun. Oktober 2019 harusnya sudah ada 27 peraturan pelaksanaan. Prakteknya
belum ada, sepuluh saja belum ada. Ini yang repot ya. Cara-cara kerjanya lambat
ini, membuat peraturan-peraturan pelaksanaan apalagi setahun terakhir ini sibuk
kampanye semua pejabat itu. Ini UU, yang pertama.
Peran Pemerintah Daerah
Yang kedua, peran pemerintah daerah dalam
perlindungan pekerja migran asal Indonesia. Tadi kan disebut ya, adanya
semangat desentralisasi. Peran pemerintah daerah mulai dari provinsi sampai
desa itu sekarang besar. Pemerintah daerah diharapkan tidak hanya menonton
migrasi itu berlangsung, tetapi ikut mengawasi, ikut melindungi migran.
Misalnya pendidikan atau pelatihan itu dilakukan
di daerah, bisa bekerjasama dengan lembaga swasta yang terakreditasi. Nah, ini
sebenarnya peluang, peluang untuk lembaga-lembaga gereja, lembaga-lembaga
pendidikan kita.
Yang dibutuhkan itu apa? BLK, Balai Latihan
Kerja. Daripada pemerintah membuat BLK yang mahal, mulai dari membangun gedung,
mengisinya dengan alat atau mesin, menyewa instruktur atau mendatangkan
instruktur, mengapa tidak memakai SMK-SMK yang sudah ada, SMK baik milik
pemerintah maupun milik lembaga pendidikan gereja.
SMK itu siang sudah kosong. Siswa sudah pulang
semua. Mengapa tidak dipakai sore hari untuk menyelenggarakan latihan
keterampilan bagi calon migran ini. Mesin-mesin sudah ada, alat-alat sudah ada.
Instruktur sudah ada, mengapa harus membuat yang baru. Maka ini peluang bagi
lembaga-lembaga gereja untuk menjadi mitra pemerintah, menawarkan fasilitas dan
keahlian.
Lalu, bicara mengenai pemerintah, unit paling
kecil yaitu pemerintah desa. Pemerintah desa ini perannya adalah menyediakan
informasi mengenai migrasi, lalu memverifikasi data kependudukan orang yang mau
bermigrasi, menyediakan dokumen kependudukan, lalu mengawasi jangan sampai ada
calo keluar masuk desa. Ini sudah dilarang oleh UU. Yang boleh menyampaikan
informasi mengenai peluang kerja itu adalah aparat desa. Bukan orang luar. Maka
aparat desa punya wewenang yang besar atas amanat UU yang baru ini.
Konsensus Regional
Lalu aturan yang ketiga adalah aturan yang
melindungi di tingkat regional Asean, kerjasama negara-negara Asia tenggara
ini. Beberapa saat yang lalu, tahun 2017 disahkan yang namanya Asian Consensus
on the Protection and Promotion of the Right of Migrant Workers. Konsensus
Asean untuk perlindungan hak-hak buruh migran.
Ini alot prosesnya. Negara-negara Asean yaitu
Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand bekerjasama membuat perlindungan
untuk migran yang melewati perbatasan mereka. Kebanyakan migran asal Indonesia,
nomor satu itu bekerja di Malaysia, nomor dua bekerja di Arab Saudi. Nah,
bekerja di Malaysia ini kan negara tetangga dekat, masih dalam kerangka
keluarga Asean, mengapa tidak bekerjasama melindungi.
Rupanya sulit sekali prosesnya, negosiasi sampai
sepuluh tahun. Mengapa sepuluh tahun hanya untuk membuat konsensus? Karena ada
tiga masalah.
Pertama, negara-negara penerima yaitu Malaysia,
Singapura, Thailand, Brunei Darussalam keberatan kalau konsensus ini meliputi
migran tanpa dokumen. Mereka tidak mau migran tanpa dokumen ini dilindungi oleh
konsensus. Makanya mereka alot sekali. Sementara negara-negara pengirim
menghendaki agar konsensus ini melindungi semuanya tanpa kecuali.
Poin kedua yang membuat alot negosiasinya adalah
karena mereka, negara penerima, tidak mau melindungi keluarga migran. Mereka
hanya mau melindungi satu individu saja, yaitu migran. Seperti Malaysia yang
tadi saya sebut ya, keluarga tidak diakui di sana. Mereka tidak mau konsensus
ini melindungi keluarga.
Lalu poin ketiga, negara-negara ini juga tidak
mau bahwa konsensus ini mengikat secara hukum, jadi kalau mereka melanggar ada
hukumannya. Tidak mau negara-negara ini. Maka butuh waktu lama untuk negosiasi
sampai akhirnya tercapai kesepakatan.
Dari tiga masalah itu hanya satu yang terpenuhi
yaitu konsensus ini melindungi keluarga migran, tetapi tidak melindungi migran
tanpa dokumen. Jadi migran asal NTT tetap tidak dilindungi oleh konsensus ini.
Kemudian, yang kedua tidak mengikat secara hukum. Konsensus ini sifatnya
Gentleman Agreement. Dulu kamu janji to, itu sifatnya. Iya saya janji, tapi kan
situasi saya tidak memungkinkan. Tidak ada hukuman, tidak ada sanksi untuk
pelanggaran konsensus.
Konsensus ini melindungi kunjungan keluarga. Ini
yang baik. Lalu melarang paspor itu ditahan oleh majikan. Paspor,
dokumen-dokumen pribadi. Lalu mengakui hak berserikat dan melarang overcharging
yaitu penarikan biaya migrasi yang berlebihan. Itu dilindungi oleh konsensus
ini.
Nah, pada dasarnya dokumen ini lemah ya karena
tidak mengikat secara hukum. Tetapi ini titik berangkat, mau nggak mau adanya
ini ya mari kita mulai bekerja dengan ini. Nah, dokumen ini tidak mengikat,
lemah, tetapi katanya ini living document. Dokumen hidup, masih akan terus
diperbarui. Nah, moga-moga diplomasi pemerintah kita mampu mengawal proses
negosiasi ini terus-menerus sehingga menambah proteksi, jenis proteksi.
Nah, kalau itu kan tadi kita omong pemerintah
ya, ngomong negara. Sekarang gereja bagaimana? Di tingkat dunia, sekarang itu
ada yang namanya Global Compact on Migration and Refugees. Ini inisiatif PBB
yang disepakati dalam bulan Desember kemarin, 2018. Ini adalah usaha menanggapi
darurat migrasi di seluruh dunia.
Di dunia ini ada tiga aturan migrasi yang
berlaku secara hukum internasional yaitu Konvensi Genewa mengenai pengungsi,
pengungsi itu seperti orang Timor Leste mengungsi ke Timor Barat, mengungsi
karena konflik di negara asal, pindah negara. Kemudian Protokol Palermo, ini
untuk korban perdagangan manusia, jadi orang yang berpindah lokasi untuk tujuan
eksploitasi. Lalu yang ketiga adalah konvensi PBB 1990 yang tadi saya sebut
mengenai migran, perlindungan pekerja migran. Jadi ada arsitektur atau
infrastruktur hukum internasional mengenai migrasi itu ada tiga kelompok besar,
yang mengatur pengungsi, yang mengatur korban perdagangan manusia, dan yang
mengatur pekerja migran.
Ini semua produk lama dan dianggap tidak mampu
menjawab kebutuhan jaman. Maka perlu pembicaraan baru dan PBB menginisiasi yang
namanya Global Compact on Migration and Refugees.
Vatikan, wakil kita di dunia internasional itu
merespon dengan sangat antusias, dan kemudian memakai empat kata kerja ini,
yaitu kita harus menyambut migran, melindungi migran, mempromosikan migran,
mempromosikan itu sebenarnya melindungi dan mengusahakan yang terbaik untuk
mereka dan mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat. Ini respon Vatikan.
Bahkan di bawah Paus Fransiskus ini, ada
inisiatif dari Paus sendiri untuk memulai sebuah departemen baru di kementerian
Integral Human Development. Kalau pemerintah kita itu punya istilah
kementerian, maka di di negara Vatikan itu istilahnya dicastery. Nah, dicastery
ini ada sebuah kementerian namanya kementerian pembangunan manusia integral.
Paus Fransiskus kemudian menunjuk dua orang
menjadi orang yang menangani persoalan khusus migrasi dan pengungsi. Dulunya
nggak ada. Tetapi karena kepedulian khusus Paus Fransiskus lalu membuat desk,
meja khusus dan kemudian menjadi divisi khusus.
Dan baru-baru ini, Paus, atau kantor ini,
dicastery of Integral Human Development khusus bagian migrasi dan pengungsi,
mengeluarkan arahan pastoral tentang perdagangan manusia yang tadi disebut oleh
Romo Yetra. Ini sudah bisa didownload, ya Romo ya, sudah diupload di website
STIPAR, website komisi, komsos, nanti bisa didownload, sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Kalau mau mengenal fenomena perdagangan manusia secara
ringkas dari perspektif gereja tetapi juga perspektif PBB, lembaga lembaga
pelindung, bacalah dokumen itu. Pendek dokumennya, dan mudah dipahami.
Lalu khusus untuk Asia Pasifik ini utusan kantor
dicastery Integral Human Development ini namanya Naoko Marwiamai. Saya tidak
minta izin ke dia tapi saya cantumkan saja e-mailnya ya, karena saya yakin,
saya kenal orangnya, dia akan dengan senang hati melayani kebutuhan informasi
apabila ada kasus yang perlu advokasi di tingkat regional lewat Naoko
Marwiamai.
Dan Naoko itu seorang perempuan, masih muda
juga, dia setengah migran, karena ibunya orang Filipina, bapaknya orang Jepang.
Ibunya bermigrasi ke Jepang, mendapat suami orang Jepang, anaknya nama Naoko
Marwiamai. Dia punya pengalaman eksistensial sebagai migran, keluarganya ini.
Lalu, dia bersama seorang Romo, Romo Ismail Chan Gonzaga, orang Filipina, saya
juga kenal, dia seorang lawyer, ahli hukum. Bisa menghubungi dua orang ini
untuk urusan migrasi, urusan pengungsi di kawasan Asia Pasifik.
Nah, saya mau menyebut kutipan Paus ini ya,
mengenai perdagangan manusia. Perdagangan manusia itu menurut Paus seperti
borok, open wound, luka terbuka di tubuh masyarakat kita, di tubuh gereja. Maka
seperti borok, apa toh reaksi orang. Borok itu luka yang nggak sembuh-sembuh
ya. Karena nggak sembuh-sembuh, kelihatan begitu apa reaksi kita, malu kan? Gak
mau bergabung sama orang kan? Disembunyikan to? Tetapi semakin disembunyikan,
termasuk disembunyikan dari dokter, semakin penyakit itu tambah parah. Maka
mesti pertamanya harus apa? Transparansi, harus ditunjukkan, harus diakui bahwa
itu terjadi.
Nah, apa strategi kita kalau sudah menemui
persoalan perdagangan manusia ini? Saya mau menyampaikan prinsipnya dulu. Ada
dua prinsip penting. Prinsip pertama, kita tidak mau melarang migrasi. Migrasi,
berpindah tempat itu hak asasi manusia. Kalau kita melarang migrasi berarti
kita melanggar hak asasi manusia. Itu prinsip pertama. Dan sebagai hak asasi,
tugas kita adalah menjamin agar proses migrasi itu berjalan aman dan
bermartabat. Jadi, prinsip pertama bukan melarang migrasi, tetapi prinsip kita
adalah menjamin proses migrasi itu berjalan aman dan bermartabat mulai dari
sebelum berangkat sampai pulang. Tugas kita semua yang tidak ikut migrasi ini
adalah proses ini.
Yang kedua, kita mau mengusahakan pertama-tama
perlindungan bagi buruh migran tanpa dokumen. Ya syukur-syukur mereka nanti
berdokumen. Tetapi jangan sampai kita mengacaukan atau mencampuradukkan dokumen
dan perlindungan. Perlindungan tidak boleh diskriminatif. Perlindungan itu
harus kena ke semua orang baik berdokumen maupun tidak berdokumen. Karena
perlindungan itu prinsipnya mengikuti hak asasi manusia. Hak asasi manusia kan
tidak bergantung KTP. Orang punya KTP atau tidak punya KTP HAMnya sama. Itu hak
yang melekat pada kita manusia begitu lahir langsung punya hak asasi manusia.
Tidak perlu menunggu surat babtis, tidak perlu menunggu KTP tidak perlu
menunggu paspor. Kita semua begitu lahir langsung punya HAM.
Maka perlindungan itu juga seharusnya melekat
pada manusia tanpa peduli dokumen, tanpa peduli warna kulit, jenis rambut,
merk-nya, capnya. Siapapun harus dilindungi. Maka ketika bicara migran tanpa
dokumen hendaknya menurut saya pendekatannya pertama bukan menyediakan dokumen,
karena tadi saya bilang, menyediakan dokumen, dokumen tidak sama dengan aman.
Pertama-tama, sediakanlah perlindungan, usahakan
perlindungan. Dokumen itu alat untuk melakukan perlindungan. Kalau dokumen
hanya selembar kertas kosong yang tidak punya kekuatan apapun, sebenarnya tidak
ada gunanya. Harus saya katakan begitu. Dan ini sudah diakui di undang-undang
yang baru ini. Dokumen migrasi itu hak, bukan kewajiban. Nah, ini perspektifnya
harus dibalik.
Pemerintah selalu mengatakan, dokumen itu
kewajiban para calon migran, mereka harus mengurus itu. Undang-undang ini sudah
mengubah perspektifnya. Dokumen itu hak warganegara, bukan kewajiban. Dan
karena itu hak warganegara, itu menjadi kewajiban negara untuk menyediakan
dokumen. Berbeda ya, cara memandangnya. Kalau itu adalah kewajiban warganegara
maka orang Ende dari Watuneso atau Raburia sana harus datang dulu ke kota untuk
cari dokumen dokumen itu, karena itu kewajiban dia. Kalau itu hak dia, harus
dibalik dong. Aparat pemerintahlah yang mendatangi, memenuhi kewajiban mereka
menyediakan dokumen. Bukan saya yang ngomong, undang-undangnya begitu.
Nah, itu urusan negara. Urusan gereja apa?
Beberapa tahun terakhir, ada inisiatif paroki ramah migran. Itu gereja hadir
sebagai apa? Gereja tidak punya anggaran, menyediakan latihan pekerjaan, gereja
tidak punya kekuatan, tidak punya aparat untuk melindungi. Tetapi gereja bisa
hadir.
Nah, mahasiswa mahasiswi di sini nanti adalah
garda terdepan gereja di tengah umat. Bukan Romo paroki, Romo paroki ya tinggal
di paroki, di gereja. Urusannya kadang-kadang dengan dokumen, dengan surat ini
surat itu, tapi yang ketemu langsung umat sehari-hari siapa? Anda semua,
sebagai katekis, sebagai guru agama, atau sebagai anggota masyarakat yang
pernah sekolah di sini. Anda semualah yang menghadirkan wajah gereja. Yah
syukur-syukur kalau Romo Parokinya juga peduli sama kelompok-kelompok migran,
sehingga gereja sungguh dirasakan hadir. Dengan begitu kelihatan ramah gereja
itu dan memperhatikan. Hadir dulu sajalah. Dengan hadir nanti akan menangkap
ada kebutuhan apa dari antara umat.
Dan yang kedua adalah desa ramah migran. Ini
konteksnya adalah pemerintah. Desa, kelurahan, itu aparat pemerintah paling
bawah. Mereka juga yang harus hadir sebagai benteng perlindungan, pertama,
sesuai amanat undang-undang Nomor 18 tadi yang saya sebutkan, menyediakan
dokumen kependudukan, mengawasi dan menyediakan informasi mengenai migrasi,
pemberdayaan ekonomi dan menerima migran yang kembali. Itu adalah wewenang desa
dan desa ini harus ramah migran juga. Karena banyak desa di sini adalah
desa-desa yang penduduknya bermigrasi.
Kemudian, gereja juga perlu mengadakan kerjasama
dengan Keuskupan dan organisasi masyarakat di tempat tujuan dan tempat transit.
Tempat transit bisa di Entikong, di Nunukan, di Batam, dengan Keuskupan
keuskupan. Lalu bisa juga dengan tempat tujuan yaitu di Malaysia. Entah itu
Keuskupan Kuala lumpur, Keuskupan Penang, Keuskupan Sandakan dan seterusnya.
Dan gereja nasional kita, KWI wakilnya, ini adalah penyambung suara NTT di
tingkat nasional dan regional. Ini ada Romo Eko di sini sebagai sekretaris
eksekutif komisi Keadilan Perdamaian dan Migran Perantau.
Lalu strategi ketiga adalah pemberdayaan
ekonomi. Mengapa orang bermigrasi? Rata-rata mengatakan karena tidak ada
pekerjaan di sini. Maka kita kalau tidak boleh melarang orang bermigrasi,
supaya orang tidak mau bermigrasi, bagaimana? Ya kita harus menyediakan peluang
ekonomi di kampung asalnya. Intinya begitu, dan harusnya berbasis sumber daya
ekonomi lokal.
Sumber daya ekonomi lokal sekarang apa? Yang
sedang ramai dibicarakan secara nasional adalah industri pariwisata. NTT ini
saya kenal baik. Alamnya sungguh indah, potensi wisata budayanya luar biasa.
Baru-baru ini saja sejumlah kenalan saya liburan ke Sumba selama satu minggu.
Dan mereka sangat terkesan. Mereka tidak mengira bahwa Indonesia ini begitu
indah, katanya. Tau begini sejak dulu saya ke sini, katanya begitu.
Ini jumlah turis atau potensi ekonomi untuk
sektor ini meningkat drastis. Nah, siapa yang menikmati industri ini,
kebanyakan sih orang Jawa. Orang Jawa yang investasi di NTT. Bikin hotel, bikin
travel agent. Kenapa tidak orang NTT sendiri yang melakukan investasi. Untuk
bekerja, model bisnisnya bisa memakai model bisnis koperasi, model bisnis desa
wisata sebagai milik BUMDes. Dan itu potensinya besar apalagi sekarang dengan
gadget ini kita bisa melakukan promosi langsung, tidak usah khawatir harus
membayar mahal untuk iklan.
Jaringan gereja manfaatkan. Saya sudah lihat
iklan Beberapa paroki di Jakarta yang mengadakan wisata religi di Flores
sepanjang pekan suci, misalnya. Tapi yang mengelola orang Jakarta. Nah, jangan
mau dibodohi orang Jakarta, setidaknya bermitralah. Berpartner yang seimbang.
Orang NTT jangan hanya jadi sopirnya saja, jangan mau jadi tukang masaknya
saja. Harus seimbang, harus jadi mitra investor dari jauh. Ya macam-macam ya
bentuknya. Pelatihan teknis, pendanaan, pendampingan, pemasaran, memanfaatkan
kebijakan desmigratif dari pemerintah, itu semua. Ada peluang peluang itu.
Para mahasiswa ini memang lulusan ilmu katekese.
Katekese itu kalau dalam industri pariwisata itu kira-kira gunanya apa? Jangan
khawatir. Banyak orang, majikan itu mempekerjakan orang bukan karena
keterampilan teknis. Keterampilan teknis itu bisa dipelajari dalam tiga bulan.
Mahasiswa mahasiswi saya misalnya di Sanata Dharma yang lulusannya itu lulusan
sastra Inggris, lulusan ilmu pendidikan, yang bekerja sebagai guru tidak
banyak. Mereka bekerja di banyak sektor lain.
Yang diperlukan apa? Keluasan wawasan,
keterbukaan pikiran, keterampilan berjejaring. Nah, itu jauh lebih sulit
diajarkan daripada keterampilan teknis. Imajinasi, kreativitas lebih sulit
diajarkan daripada hitungan membuat laporan keuangan, membuat resep.
Kreativitas itu lebih mahal dan lebih sulit. Dan anda kalau selama di tempat
ini belajar mengasah kreativitas, itu adalah bekal termasuk untuk terlibat di
sektor industri yang tidak langsung terkait dengan ilmu katekese ini. Ada
banyak peluangnya.
Dan strategi yang terakhir adalah kembali ke
porsi pemerintah, diplomasi luar negeri. Yang intinya pemerintah berani
memberikan instrumen perlindungan yang lebih akomodatif. Beberapa tahun
terakhir ini, Kementrian Luar Negeri kita itu sangat aktif. Harus kita akui
bersama, ini prestasi pemerintah kita, wakil-wakil kita di luar negeri semakin
aktif membantu para migran termasuk di Malaysia. Memang masih harus ada
perbaikan di sana sini tetapi sudah sebuah langkah yang patut kita apresiasi
bersama.
Kemudian ada moratorium, ini alat negosiasi
sebenarnya. Mau nggak melindungi migran asal Indonesia di Malaysia. Kalau nggak
mau kita stop migran asal Indonesia. Kelimpungan ekonomi Malaysia itu. Jumlah
tenaga kerja asing di Malaysia itu besarnya 20% yang resmi. Kalau yang resmi
saja hilang, ekonomi Malaysia kolaps. Apalagi yang tidak resmi ikut hilang.
Ekonomi Malaysia akan runtuh. Sudah berkali-kali terjadi pemerintah Malaysia
ketat mengawasi banyak PMI dipulangkan, seperti tahun 2001 dulu para pengusaha
di Malaysia langsung teriak-teriak nggak punya pegawai. Ini alat negosiasi yang
harus dimanfaatkan. Bukan untuk jualan manusia tetapi untuk menuntut
perlindungan bagi migran kita. Dan kalau bikin MOU, itu bukan MOU bisnis,
kontak atau perjanjian untung rugi tetapi MOU yang berbasis HAM, berbasis
perlindungan.
Nah, saya mau mengakhiri presentasi saya ini
dengan foto ini. Nah, kalau semua lihat ya, foto yang sebelah kiri ini saya
ketemu dua belas orang asal desa Raburia yang dideportasi. Ada orang Raburia
kan di sini? Ada. Ia dua belas orang yang saya jumpai di rumah singgah yang
tadi saya sebut di Jakarta di Bambu Apus dekat taman mini. Mereka ditangkap di
Perak di Malaysia tengah malam. Ada razia saat sedang mau pindah dari lokasi
bangunan. Ini semua kuli bangunan mau pindah dari satu proyek ke proyek lain
tengah malam. Tetapi kendaraannya dihentikan di tengah jalan, akhirnya mereka
semua tertangkap.
Dari dua belas orang ini ada tiga orang
yang remaja baru umur tujuh belas enam belas tahun. Kemudian ada veteran yang
sudah berkali-kali, empat kali keluar masuk Malaysia. Nah, mereka waktu itu
dipulangkan, ditangkap bersama, dihukum bersama, dipulangkan bersama sehingga
saya ketemu mereka bersama-sama dua belas orang.
Lalu akhirnya mereka dipulangkan ke Raburia lalu
saya kunjungi mereka di desa, di Raburia, itu foto yang sebelah kanan. Sudah
tertawa-tawa sekarang mereka karena mereka sudah pulang kampung. Ini pun yang
saya tanya, beberapa dari mereka masih mau kembali ke Malaysia, ada
terang-terangan mengatakan, mau Romo. Saya mau kembalilah. Di sini saya bisa
makan, hasil kebun cukup. Tapi tidak bisa untuk sekolah, karena duit ya. Tidak
bisa untuk adat, adat butuh uang.
Jadi migrasi itu di sini kebanyakan dipakai
untuk dua keperluan itu, untuk sekolah, dan kalau ada yang sakit untuk biaya
pengobatan dan untuk adat. Makan sebenarnya nggak masalah. Tanah Flores ini
cukup tapi uang cash itu mereka dapatkan dari migrasi. Nah, dengan ini saya mau
menutup presentasi ini, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar