Kalender Liturgi

Kamis, 16 Mei 2019

Video: Seminar Masalah Migran Perantau di Keuskupan Agung Ende


Sapaan ketua Sekolah Tinggi pastoral Atma Reksa Ende

Yang saya hormati Bapak Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende;
Yang saya hormati utusan dari instansi-instansi pemerintahan Kabupaten Ende;
Yang saya hormati utusan dari perguruan tinggi yang ada di Kabupaten Ende;
Yang saya hormati para dosen dan tenaga kependidikan, singkatnya civitas akademika STIPAR yang saya kasihi.

Saya ingat kata-kata Yohanes Paulus II, beliau mengatakan: agama Katolik bukan saja agama ide, tetapi agama yang percaya kepada Allah yang bertindak, yang selanjutnya akan menghasilkan para penganutnya yang juga mampu bertindak mampu bersaksi dalam kehidupan nyata.


Kata-kata tadi menginspirasi kita sekalian khususnya warga gereja untuk melihat bahwa ada kaitan yang sangat kuat antara iman dan kehidupan. 

Selanjutnya pada tataran refleksi teologis pastoral, karya pastoral itu akan menjadi karya pastoral yang sungguh-sungguh menjawab kebutuhan umat kalau bertolak dari realitas konkret. Itulah sebabnya dalam karya pastoral gereja, karya pastoral ini disebut sebagai karya pastoral inkarnatoris, karya pastoral yang bertolak dari realitas konkret.

Karena itu, karya pastoral yang dirancang dan dilaksanakan adalah karya pastoral yang sungguh-sungguh berangkat dari pergumulan umat. Termasuk di dalamnya umat yang mengalami masalah, salah satunya masalah migran dan perantauan. 

Dalam perjalanan gereja, konsep pastoral inkarnatoris telah diaplikasikan dalam sekian banyak dokumen-dokumen gereja, dan salah satunya dokumen gereja yang sudah kita kenal, Ajaran Sosial Gereja. Dan kalau kita lihat Ajaran Sosial Gereja sejak awal Rerum Novarum dari Paus Leo XIII tahun 1891 sampai dengan dokumen dari Paus Fransiskus Laudato Si semuanya berbicara tentang hal-hal kecil nyata, pergumulan nyata yang mesti juga menjadi kepedulian kita semua, kepedulian masyarakat, kepedulian gereja pada umumnya. 

Kegiatan seminar kita pada hari ini dilaksanakan untuk menandai wisuda STIPAR angkatan ke 25 dan kegiatan ini dilaksanakan dengan satu tujuan untuk membangkitkan sikap solidaritas kita semua kepada sama saudara kita yang terlilit oleh berbagai macam masalah dan salah satunya masalah migran dan perantauan. 

Oleh karena itu saudara-saudara sekalian, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang pertama kepada Romo Eko dan Romo Benny yang bersedia menerima undangan STIPAR untuk mengadakan seminar nasional pada hari ini. Mudah-mudahan seminar kita pada hari ini akan juga membangkitkan kepedulian kita khususnya para mahasiswa mahasiswi dan secara istimewa lagi mahasiswa yang akan diwisuda besok.

Mudah-mudahan momen akademis pada hari ini juga akan menjadi hal yang berharga bagi adik-adik untuk selanjutnya berkarya di tengah umat, dan saya yakin anda semua bisa melihat masalah migran dan perantauan menjadi salah satu fokus perhatian pastoral di dalamnya anda bergumul, anda berjuang nanti di paroki ketika pastor paroki memberikan kesempatan kepada anda untuk berkarya, mudah-mudahan tema ini menjadi fokus perhatian anda mulai dengan hal-hal yang paling sederhana mendata, lalu kemudian bisa memberikan pandangan-pandangan yang berharga, yang bernilai sehingga umat kita yang mengalami masalah ini bisa dibantu. 

Oleh karena itu, saudara-saudara sekalian, saya ingin menyampaikan kepada kita sekalian untuk memanfaatkan momen ini sebagai momen pembelajaran. Saya yakin dua pembicara ini adalah pembicara yang punya pengalaman yang banyak sekali tentang tema yang satu ini. 

Itu saja yang boleh saya sampaikan pada acara pembukaan seminar ini. Mudah-mudahan seminar ini membawakan hasil yang maksimal bagi kita. Kita semua pada akhirnya memiliki komitmen sosial untuk senantiasa tekun dan setia membantu umat kita yang mengalami masalah-masalah sekitar migran dan perantauan. Sekian dan terima kasih.

MC: Rm. Aurelius Woi Bule

Hadirin sekalian, sekarang kita mendengarkan arahan awal proses seminar dan keseluruhan seminar ini dari penanggungjawab Romo Yetra Koten. Pada Romo dipersilahkan.

RD. Yohanes Baptista A. Koten

Realitas, dan saya memulai dengan rasa haru saya ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya hampir jatuh air mata ketika lawatan kekerabatan bagi kaum migran beberapa waktu selama bulan April ini. 

Ada satu kisah yang menurut saya menyayat hati saya. Dalam satu kesempatan mengunjungi mereka di sebuah komunitas untuk memotivasi keluarga-keluarga migran kita ini, kami mengantar pulang mereka ke tempat mereka bekerja. 

Di luar dugaan, jam satu malam, polisi mencegat kendaraan kami dan memeriksa dalam kendaraan. Dan dua dari antara kami di dalam mobil L 300 itu terpaksa harus turun dan saya harus melihat persis apa yang dilakukan oleh mereka: harus berlutut dan tangan di belakang kepala. Saya sedih, apa yang harus dilakukan. 

Saya juga ingat seorang mahasiswi STIPAR yang besok diwisuda, saya omong jujur saja namanya Lus, orang tuanya berada di Johor bertahun-tahun dan saya yakin juga hadir di sini menyaksikan anaknya mengalami peristiwa istimewa ini, diwisuda. 

Realitas yang menggembirakan, realitas yang menyayat hati. Proses hari ini saya yakin juga menunjang sebuah kehendak baik kita semua dari apa yang disampaikan oleh ketua STIPAR tadi. Kita bergandengan tangan, bahu membahu untuk suatu hal yang berkenan baik untuk membantu warga kita yang terjebak dalam persoalan-persoalan seputar tidak berdokumentasi ini. Paus punya dokumen terakhir itu arahan pastoral tentang perdagangan manusia, selain yang terakhir disebutkan oleh Romo ketua tadi.

Bapak Kepala Kementerian Agama Kabupaten Ende yang terhormat;
Romo Ketua STIPAR;
Utusan-utusan dari institusi pemerintahan yang sempat hadir;
Juga utusan dari perguruan tinggi, para undangan, para dosen, 

kedua Romo narasumber:
Romo Benny Hary Juliawan, SJ, dari Serikat Yesus. Menyebut SJ ini saya merasa kecil, 
Romo Eko, O.Carm, juga menyebut ini secara spiritual saya merasa diteguhkan oleh orang Karmel ini. 

Semua kita yang hadir, arahan kami sebagai penanggungjawab ada tiga bagian: pertama saat ini, tidak lama, setelah itu kita mengikuti proses diskusi yang ada, dan selanjutnya ada selingan, minum, dan ada arahan terakhir sebentar. 

Kita jalani saja prosesnya, dan mengawali arahan pertama ini saya ingin mulai dengan: kenapa judulnya STIPAR peduli migran perantauan. Setahun lalu kami para dosen bincang-bincang, kita mungkin perlu buat sebuah seminar nasional. Dan kita mencari tema. Waktu itu muncul dua tema: komunikasi menanggapi munculnya generasi milenial seperti kotbah bapak Uskup kemarin, berkaitan dengan munculnya media-media baru yang saat ini juga kita gunakan dalam kerjasama dengan komsos Keuskupan Agung Ende, atau yang sekarang lagi hangat dibicarakan di NTT: masalah migran, PMI, Pekerja Migran Indonesia, terutama yang tidak berdokumen. 

Dan kami bagi tugas, saya mendekati narasumber bekerjasama dengan pihak-pihak dalam jejaring urusan migran perantau, termasuk yang sering memulangkan jenazah. Jenazah yang pertama kali dipulangkan dari Ende, bapak Bernadus Titus, kami pertama bersama-sama mengantar sampai di kampungnya bapak Titus. Dan terus-menerus sampai sekarang dalam jejaring kerjasama masih tetap berusaha memulangkan. Dan menyedihkan, terakhir seluruh komponen yang bekerjasama ini berjuang keras supaya jenazah migran berasal dari Dito paroki Wolotolo untuk dipulangkan lewat pesawat ternyata ditolak oleh N*M Air dan harus dipulangkan dengan jalur fery Ende. 

Ada banyak kisah pilu, ada banyak juga kisah yang membesarkan hati. Mari kita berproses dalam peristiwa hari ini. Mari kita menjadi orang yang tanggap dan terlibat dalam seluruh diskusi yang ada. Ini saja arahan awal dari kami, terima kasih. 

MC: hatiku pilu rasanya, deraian air mata mulai........? (Hadirin tertawa). Baik minta maaf para undangan, saya melihat segenap mahasiswa ketika penanggungjawab mengungkapkan kisah-kisah riil tadi semuanya tarik nafas dalam-dalam, termasuk saya. Selanjutnya kita masuk pada sesi yang pertama yang akan dipandu oleh Romo Eko. Kepada moderator kami persilahkan untuk mengambil tempat di meja seminar.

Selamat pagi semua, yang terhormat Bapak Kepala Kementrian Agama Kabupaten Ende;
Yang terhormat Romo Ketua STIPAR Atma Reksa Ende, utusan dari instansi-instansi terkait di Kabupaten Ende, para dosen, mahasiswa, civitas academica dan para peserta seminar  yang kami kasihi.

NTT atau Flores itu menjadi daerah asal para migran ya, kantong-kantong migran termasuk di keuskupan kita. Dan ketika kita berbicara tentang migran perantau, gereja itu punya tugas untuk memperhatikan mereka.

Tugas dan tanggungjawab gereja tidak hanya tentang kesucian spiritual, kesucian rohani, berdoa, berdevosi, merayakan Ekaristi, tapi bagaimana doa Ekaristi itu berbuah dalam kehidupan. Karena itu, gereja juga punya tugas untuk menghayati kesucian sosial. 

Kesucian sosial ini yang mesti dinyatakan dalam bentuk kepedulian, solidaritas terhadap sesama saudara kita, terhadap umat yang mengalami masalah, di antaranya para migran dan perantau. Dengan demikian, gereja dipanggil untuk terlibat untuk peduli terhadap para migran dan perantau. 

Kepedulian atau care itu merupakan salah satu sikap dasar gereja ketika berpastoral di tengah para migran dan perantau selain hospitality atau keramahtamahan dan penerimaan (acceptance). Karena itu, gereja mesti menampilkan dirinya sebagai gereja Yesus Kristus, bukan gereja Pilatus yang cuci tangan ketika menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan.

Para hadirin sekalian, para peserta seminar terkasih, tema seminar nasional STIPAR Ende Peduli Migran Perantau: Apa yang Harus Dilakukan. Untuk membedah tema ini telah hadir di tengah kita Romo Benny, seperti sudah diperkenalkan oleh Romo Yetra tadi, salah seorang yang punya hati, punya perhatian terhadap para migran perantau Flores. 

Kita Flores ini untuk Romo Benny bukan tempat yang baru. Beliau sering datang, kami sering bertemu dan berdiskusi untuk menangani persoalan migran dan perantau. Karena itu, Romo Benny akan mempresentasikan tema tentang: Karakteristik Migrasi di NTT. Apa dan bagaimana karakteristik migran kita ini nanti akan dibedah oleh Romo Benny. Karena itu waktu yang seluas-luasnya saya serahkan kepada Romo Benny. Silahkan. Romo nanti jangan lupa memperkenalkan diri juga ya.

Romo Beni

Para Romo, bapak ibu yang terkasih dan rekan-rekan mahasiswa, selamat pagi. Tadi saya diminta memperkenalkan diri lebih dahulu. Maka saya akan mulai dengan itu. Nama saya Benediktus Harry Juliawan, panggilan saya Benny. Sebenarnya tadi saya diperkenalkan sebagai koordinator karya SJ untuk migrasi di Asia Pasifik, itu benar sampai tahun lalu. 

Tetapi sejak tahun lalu saya mendapat tugas baru, pindah ke Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Jadi sekarang saya mengajar di program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Tetapi sejak enam tahun lalu memang benar bahwa saya bekerja untuk persoalan migrasi dan terutama saya punya minat pribadi dengan NTT, karena ada sejarah kecil dengan NTT ini. 

Kembali ke tahun 2001, saya bekerja di perbatasan Timor Timur - Timor Barat, tepatnya di sebuah desa namanya Betun di Malaka. Katanya sekarang sudah menjadi kabupaten. Waktu itu hanya kota kecamatan kecil saja. Hanya ada tiga warung di sana, satu warung Lamongan, satu warung Padang, dan satu bakso Wonogiri (mahasiswa tertawa). Saya hafal semua warung karena makan giliran tiga kali sehari di tempat-tempat itu. 

Waktu itu saya bekerja untuk para pengungsi Timor Leste yang menetap di Timor Barat. Nah, di situlah saya pertama kali terlibat dengan NTT. Maka ketika saya mulai meneliti mengenai persoalan migrasi, hal pertama yang muncul dalam benak saya adalah NTT. Karena masih punya ikatan, saya merasa masih punya ikatan emosional dengan NTT. Dan itulah sebabnya saya fokus dan punya perhatian khusus pada migrasi di NTT. 

Nah, sebelum saya mulai presentasi ini, saya akan bertanya pada mahasiswa ya, nanti tolong tunjuk jari. Siapakah di antara para mahasiswa di sini yang saudaranya, entah itu keluarganya entah itu orang tua, kakak, adik, oom, paman, sepupu, yang pernah bermigrasi atau sedang bermigrasi ke luar negeri? Tolong tunjuk jari yang pernah bermigrasi atau sedang bermigrasi ke luar negeri. Oke, terimakasih. Sekarang tolong tunjuk jari, kalau tadi keluarga besar, sekarang saya mau tanya yang kakak atau adiknya, jadi keluarga inti, kakak atau adiknya bermigrasi?  Ada juga. Sekarang, yang terakhir, tolong tunjuk jari, siapa di antara para mahasiswa mahasiswi ini yang orang tuanya bermigrasi? Banyak ya. Terimakasih.

Dengan demikian, yang mau kita bicarakan pagi ini bukan barang dari luar sana, bukan perkara orang lain. Ini perkara kita semua yang ada di sini. Kita semua ada hubungan dengan peristiwa migrasi, kita semua kena pengaruh, kena akibat peristiwa migrasi. 

KARAKTERISTIK MIGRASI NTT

Pagi ini saya mau bicara terutama mengenai yang saya sebut sebagai karakteristik atau ciri-ciri umum migrasi yang unik atau yang khas untuk kita orang NTT.

Migrasi Tanpa Dokumen

Ciri-ciri pertama atau karakteristik yang pertama adalah migrasi mandiri tanpa dokumen. Jadi sudah disebut berkali-kali oleh Romo Yetra dan Romo ketua menyatakan, ini adalah ciri yang menonjol dari migran asal NTT yaitu migrasi tanpa dokumen. Istilah umum yang dipakai adalah migrasi ilegal. Tetapi saya sengaja tidak mau memakai istilah ilegal. Karena ilegal itu artinya hanyalah bahwa ini tidak resmi secara hukum. Nanti justru saya akan mempersoalkan soal resmi atau tidak resmi itu. Tapi tunggu saja ya. Saya mau mengatakan bahwa istilah yang saya pakai adalah migrasi tanpa dokumen. 

Provinsi NTT secara nasional menduduki peringkat tujuh atau delapan sebagai pengirim PMI atau TKI secara resmi. Dan sebagian besar, saya katakan: sebagian besar migran asal NTT ini tanpa dokumen. Sekadar ilustrasi, dokumen dengan tanpa dokumen itu, kalau dokumen tercatat di dinas terkait, berarti tercatat di dinas tenaga kerja. 

Sejak empat tahun yang lalu saya meneliti khusus di daerah Ende ini. Dan jumlah TKI atau PMI yang berangkat tercatat di Disnaker kabupaten Ende selama 2010-2015 selama lima tahun itu adalah 1138 orang. Yang tercatat selama lima atau enam tahun itu adalah 1138. Tetapi kalau kita pergi ke desa-desa langsung tanya atau di ruangan ini, tadi ya, kita bertanya, berapa orang yang saudaranya pergi ke luar negeri, kakak adiknya pergi, bahkan orang tuanya pergi di ruangan ini saja sudah banyak jumlahnya. 

Maka bisa disimpulkan data dari Disnaker kabupaten Ende ini tidak mencakup seluruh migran. Bahkan ini hanya sebagian kecil migran. Kebanyakan tidak tercatat. Itulah sebabnya mereka ini disebut migran tanpa dokumen. 

Nah, kalau di kelas, atau ini di kampus seperti saya di kampus juga, kalau satu kelas mahasiswa saya ujian nilainya semua D, nilainya baik B atau A itu hanya satu atau dua orang, kira-kira yang salah siapa itu, mahasiswa atau dosennya? Dosen ya. Artinya dosen tidak bisa mengajar sehingga nilai mahasiswa kebanyakan jelek. Kalau yang jelek nilainya hanya satu atau dua orang, berarti yang salah mahasiswa yang tidak belajar. 

Sama saja dengan migrasi ini. Kalau sebagian besarnya itu migrasi tanpa dokumen, pasti ada sesuatu yang salah dengan proses migrasi kita, dengan aturan migrasi kita, dengan kinerja negara kita. Bukan salah orang yang pertama-tama migrasi tanpa dokumen, karena sebagian besar migrasi tanpa dokumen. Maka tidak cukup migrasi NTT dipahami sebagai persoalan pelanggaran hukum atau pelanggaran peraturan. Ada sesuatu yang lebih mendasar. 

Dan kalau kita belajar sejarah, migrasi NTT itu bukan terjadi lima atau sepuluh tahun yang lalu. Migrasi asal NTT terutama ke Malaysia itu sudah terjadi paling tidak seratus tahun terakhir. Sebelum ada negara Malaysia, sebelum ada negara Indonesia. Orang-orang NTT itu sudah bermigrasi ke Kalimantan utara yang sekarang namanya Sabah dan Sarawak misalnya. 

Mereka didatangkan oleh pemerintah kolonial Inggris yang waktu itu berkuasa di dataran Kalimantan utara yang sekarang kita sebut Sabah dan Sarawak sebagai tenaga perkebunan. Dan kemudian mengalir pelan-pelan generasi per generasi dan karena ini sudah sifatnya. 

Tradisi migrasi ini banyak orang memakai istilah sebagai migrasi tradisional atau migrasi kultural. Dengan kata lain, sebelum ada peraturan migrasi, sebelum ada batas-batas negara yang jelas seperti sekarang. 

Dan mengapa ciri migrasi tanpa dokumen ini terus berlangsung sampai hari ini? Karena sudah kebiasaan, sudah terbentuk infrastruktur migrasi. Infrastruktur migrasi ini bukan dinas tenaga kerja, bukan kementerian imigrasi, bukan polisi air, bukan polisi udara, bukan petugas perbatasan. Bukan. Infrastruktur migrasi tradisional itu adalah komunitas NTT yang tersebar di sepanjang jalur migrasi antara Indonesia - Malaysia. 

Ada sekitar lima koridor migrasi NTT ke Malaysia itu. Dan di sepanjang koridor ini ada komunitas NTT. Nah, besok-besok kalau penasaran mau mencoba rasanya migrasi tanpa dokumen, meskipun saya tidak menganjurkan, tetapi sebagai sebuah penelitian, bolehlah. 

Pergilah ke perbatasan Indonesia Malaysia di Sabah yaitu di Kalimantan utara kalau di bagian Indonesia, pergi ke Tanjung Selor. Siapakah orang-orang di Tanjung Selor, yang banyak di sana? Orang NTT, bukan orang Kalimantan. Anda mau menyeberang ke Tawau, terutama kalau tanpa dokumen, dengan mudah ada banyak orang menawarkan jasanya. Siapa yang menawarkan jasa? Orang NTT juga. Selama menunggu tiket atau orang yang mau memasukkan secara diam-diam ke Malaysia itu, anda bisa tinggal di rumah sementara. Siapa yang menjadi pengelola rumah sementara, siapa yang memiliki rumah sementara itu? Orang NTT. 

Semua saudara katanya. Sehingga orang NTT, orang Ende katakanlah, yang bermigrasi ke tempat asing ini sama sekali tidak merasa asing. Ditemani terus oleh saudara-saudara. Bahkan beberapa masih bisa mengatakan memang kita satu famili, kita masih keluarga, kita masih sama orang mana begitu ya, orang Ende, orang Sikka, orang Lembata, semua bisa mengatakan begitu dan orang merasa aman, merasa ditemani dalam perjalanan ini. 

Itulah sebabnya mengapa migrasi tanpa dokumen kelihatannya melanggar peraturan tetapi menurut pengalaman orang yang melakukan migrasi ini, ini proses yang murah. Tidak perlu cari dokumen, dokumen itu mahal ya saudara-saudari. Mencari mulai dari KTP sampai akhirnya mendapat passport, lalu mendapatkan visa kerja, ijin kerja, nanti di Malaysia juga harus mendapat permit kerja. Lalu ikut pelatihan di PPTKIS, mahal. Belum juga hanya mahal, makan waktu, lalu nanti repot. Harus pergi ke sana ke mari ke sana ke mari. 

Tanpa dokumen? Besok jalan! Tiket bagaimana? Disiapkan. Dokumen? Tidak perlu. Majikan di Malaysia juga suka karena apa, tidak perlu banyak permit dan upahnya lebih murah lagi. Maka ini sebenarnya menguntungkan kedua belah pihak. Migrannya senang, yang mempekerjakan juga senang.

Itulah sebabnya sampai hari ini migrasi tanpa dokumen itu sulit sekali dibendung. Karena baik permintaan maupun penawaran sama-sama mendukung proses migrasi tanpa dokumen. 

Memang ada resiko yaitu resiko penangkapan, resiko deportasi, resiko eksploitasi. Tadi Romo Yetra cerita pengalaman langsung di Malaysia malam-malam ada dua orang migran bersama yang kena razia lalu ditangkap. Apakah akhirnya dilepas? Tanpa dokumen, ya dilepas, yaitu bayar. Jadi polisi Indonesia polisi Malaysia sebenarnya masih bersaudara (mahasiswa tertawa).

Di Malaysia, menurut kesaksian banyak PMI kita, ketika mereka kena razia, mereka bisa membayar. Mulai dari 200 Ringgit sampai 1000 Ringgit. Tergantung situasi. Rata-rata ya 200-500 Ringgit. Itu yang perlu disiapkan di kantong kalau keluar dari kongsi atau keluar dari kebun. Sewaktu-waktu mereka ditangkap membayar itu. 

Jadi, pengalaman deportasi, pengalaman ditangkap, itu sudah pengalaman sehari-hari. Bahkan kalau kemudian diproses hukum dan dipulangkan ke Indonesia, apakah mereka kapok? Tidak. 

Saya waktu tinggal di Jakarta rajin mengunjungi rumah singgah bagi para migran yang dideportasi. Ketika saya tanya: 
bagaimana Pak, pengalamannya?
Wah, saya kemarin ditangkap, dipenjara sekian lama. 
Kapok tidak pak?
Ya, sekarang saya kapok, pastor.
Kalau besok?
Ah, belum tau, mungkin saya kembali lagi.
Saya ketemu orang yang sudah empat kali pulang pergi Malaysia. Ada yang ditangkap tetap bisa kembali lagi.  Mudahnya keluar masuk daerah perbatasan ini lagi-lagi menunjukkan bahwa migrasi tanpa dokumen itu tidak akan hilang. Sulit sekali dihapus. Bahkan pertanyaannya sekarang: kalau orang kita semua mengajak, termasuk saya, sebenarnya saya juga mengajak orang kalau migrasi mempersiapkan diri dengan dokumen, salah satunya. 

Tapi apakah migrasi dengan dokumen itu aman, lebih aman daripada yang satunya? Saya rasa jawabannya tidak ada jaminan bahwa selembar dokumen itu menjamin keamanan migrasi kita yang bepergian. Ini ibaratnya begini: kita naik kapal Umsini dari Kupang ke Ende. Beli tiketnya di mana? Ada yang beli tiket di calo, ada yang beli tiketnya di loket resmi. Dua-duanya lalu naik kapal Umsini yang sama. Suatu saat di tengah laut misalnya badai, kapalnya mau tenggelam. Yang pegang tiket beli dari calo sama yang beli tiket resmi kira-kira sama-sama tenggelam atau tidak? Sama-sama tenggelam. 

Ini ibaratnya bermigrasi dengan dokumen atau tanpa dokumen sejauh ini resikonya sama. Karena dokumen ini tidak menjamin keselamatan. Kalau orang pegang dokumen, banyak kali di Malaysia kemudian bekerja melebihi kontrak, dokumen tidak berlaku lagi. Akhirnya dokumen sama saja, ada tapi tidak berlaku.

Bahkan kalau masih berlaku dokumen itu dia diperlakukan tidak baik oleh majikan, apakah dokumen ini menolong dia, belum tentu. Mungkin menolong kalau orangnya sudah meninggal karena jelas dipulangkan ke mana jenazahnya. Tapi apakah kita harus menunggu sampai orang meninggal baru dipakai, begitu ya. Maka ini pertanyaan besar untuk kita, apakah migrasi berdokumen itu sama migrasi aman. Maka tadi saya bilang, saya tidak mau menggunakan istilah ilegal karena istilah ilegal ini adalah istilah yang menyesatkan. Hanya menyebut bahwa dia tidak memenuhi syarat hukum tapi keselamatan tidak tercakup dalam istilah ilegal atau legal. 


Angka Kematian dan Deportasi Tinggi

Karakteristik yang kedua, angka deportasi dan kematian yang tinggi. Tahun 2017 ada 62, tahun 2018 ada 105 yang meninggal. Tahun ini 2019 baru tadi Romo Yetra memberi kabar siang ini hari ini akan ada jenazah ke-46 sepanjang 2019 yang dipulangkan. Orang Malaka, mungkin orang Betun ya, orang Atambua. Nah, ini juga lagi-lagi unik untuk NTT. Jumlah yang meninggal di luar negri itu tinggi. Lalu kalau kita kembali sedikit beberapa tahun ke belakang, menurut laporan BNP2TKI, jumlah TKI yang dideportasi dari Nunukan, perbatasan antara Indonesia Malaysia di Tawau sana. Menurut data BNP, Nunukan, Entikong dan Tanjung Pinang adalah tiga point embarkasi. Nunukan di Kalimantan utara, Entikong Kalimantan Barat, dan Tanjung Pinang di Riau. Di tiga provinsi ini ada dua puluh ribu TKI yang dideportasi. Dan saya yakin sebagian besar orang NTT. 

Rute pemulangan biasanya melalui Kupang, ini kalau jenazah ya, rutenya adalah dari Malaysia ya, dari manapun di Malaysia dipulangkan ke Kupang. Karena Kupang adalah ibukota propinsi. Lalu dari Kupang baru diantar ke kampungnya. Dan beberapa tahun terakhir ini pemerintah lebih aktif memulangkan jenazah dan ini kabar baik, karena kemudian negara ikut bertanggungjawab. 

Kalau dideportasi datanya ini: 2014 ada 935 TKI yang dideportasi dan diinapkan di rumah singgah milik kementerian sosial di Bambu Apus Jakarta. Lalu tahun 2015, setengah tahun pertama jumlahnya sudah 700, sebagian besar adalah NTT. Kalau ini saya tahu langsung karena setiap kali ada migran asal NTT yang menginap di rumah singgah ini, saya dan teman-teman di Jakarta itu dihubungi oleh pihak rumah singgah untuk datang dan untuk menghibur, begitulah ya, untuk menguatkan saudara-saudara NTT ini. Jadi, ini karakteristik yang kedua. Pertama tadi tanpa dokumen, yang kedua banyak deportasi serta kematian.

Banyaknya MasalahPastoral

Nah, karakteristik ketiga ini, terutama karena orang NTT kebanyakan adalah orang Katolik, atau orang Kristen, maka ada masalah pastoral. Yang pertama, perpecahan keluarga karena suami istri yang terpisah. Ini dijumpai oleh Romo Romo yang berkunjung ke Malaysia maupun yang di sini yang memperhatikan keluarga-keluarga migran yang terpecah itu.

Mereka terpisah, suami di sana istri di sini dan sebaliknya. Kalau orang Timor Barat rata-rata yang bermigrasi banyak perempuan. Tapi kalau Flores ini yang bermigrasi kebanyakan adalah laki-laki. Maka kalau di Flores kebanyakan istri yang tinggal di rumah. Kalau di Timor suami yang tinggal di rumah. Kadang-kadang suami istri terpisah sekian lama yang terjadi kemudian yang di tanah rantau itu menikah lagi. Tentu bukan menikah resmi. Dan menikah tanpa ikatan sehingga pernikahannya tidak sah baik di mata sipil maupun di mata gereja.

Nanti mungkin ada kisah mengenai para ibu yang dari paroki Kombandaru yang sudah puluhan tahun tidak tahu kabar suaminya. Puluhan tahun dan menunggu sampai sekarang kabar mengenai suaminya ini. Padahal si suami ini sudah punya keluarga lagi di Malaysia. Ya, terus terang saja para Romo, bapak ibu para mahasiswa, kebanyakan yang begitu adalah laki-laki yang menikah lagi tanpa ijin, tanpa restu. 

Kemudian orang hilang kontak. Beberapa saat lalu, sebenarnya ada videonya singkat ya, ada wartawan dari Australia, dari Reuters yang datang ke Timor untuk meneliti atau menyelidiki kabarnya dari orang hilang karena migrasi pulau Timor. Dan memang terjadi banyak orang Timor dan saya yakin juga di Flores, keluarga-keluarga di sini yang tidak tahu keberadaan saudaranya. Ada di mana sekarang, sejak sekian tahun lalu pergi ke Malaysia tanpa ada kabar. Di mana dia bekerja, di kota apa, pekerjaannya apa, masih hidup atau tidak, tidak ada kabar sama sekali.

Nah, untuk mereka yang hidup bersama lalu menikah, anak-anak yang lahir dari perkawinan di Malaysia itu tidak punya kewarganegaraan, karena undang-undang Malaysia melarang migran itu datang sebagai keluarga. Jadi undang-undang keimigrasian Malaysia hanya mengakui orang-orang yang datang singel. Kalau kemudian mereka ini menikah atau hidup bersama di Malaysia, tidak diakui oleh undang-undang Malaysia. Kalau sampai punya anak, anak-anak itu tidak diakui sebagai warganegara Malaysia, sementara di Indonesia anak-anak ini juga tidak tercatat.

Maka, kalau anda pergi ke Sabah terutama ini fenomena di Malaysia Timur, Sabah Sarawak, banyak migran NTT yang berkeluarga di sana, anak-anaknya tidak punya kewarganegaraan. Kalau tidak punya kewarganegaraan, apa resikonya? Ya ia tidak bisa sekolah. Sekolah Malaysia itu hanya untuk orang Malaysia. Kalau bukan orang Malaysia silahkan sekolah di sekolah internasional. Nah, kerja kebun apa sanggup menyekolahkan anaknya di sekolah internasional. Akhirnya hanya sekolah yang namanya di sana itu tutorial, les privat tiga mata pelajaran saja, dua mata pelajaran saja, atau ikut sekolah informal yang dibuat oleh gereja. Tapi sekolah informal ini ya ala kadarnya saja, di tengah hutan begitu. Maka anak-anak ini kebanyakan tidak berpendidikan. Ada sekitar 50.000, angka yang sering disebut oleh para pengamat, itu di Sabah Sarawak saja. Nah, ini tiga ciri yang mau saya sebut sebagai karakteristik migrasi asal NTT. Sekali lagi, satu adalah tanpa dokumen, dua, tingkat kematian dan deportasi tinggi, dan ketiga, banyaknya masalah pastoral. 

Saya mau pindah sekarang ke rezim perlindungan. Peraturan perlindungan apa yang bisa melindungi migran kita ini.

Undang-undang Tentang Migrasi

Yang pertama tentu adalah UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Ini UU baru yang disahkan pada Oktober 2017 menggantikan UU No. 39 Tahun 2004, UU yang lama. Nah, UU ini lebih baik daripada UU sebelumnya, dalam hal seperti yang saya sebut: sudah mengadopsi konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran, hak buruh migran dan keluarga mereka.

Peran swasta dibatasi. Peran PPTKIS atau PJTKI atau sekarang namanya sudah berbeda lagi dengan UU baru ini, dibatasi hanya untuk mencari job, mencari pekerjaan, mencari kontrak dan memberangkatkan. Tidak boleh lagi melatih. BLK tidak lagi ditangani oleh PPTKIS ini. Lalu biaya penempatan tidak lagi dibebankan kepada calon migran, calon pekerja, tetapi kepada majikan.

Lalu sekarang tidak semuanya diurus dari Jakarta. Pemerintah daerah punya peranan besar. Kemudian pekerja mandiri tidak melalui PPTKIS diakui. Menurut UU yang lama, kalau mau berangkat bekerja di luar negri harus lewat PPTKIS atau PJTKI. Sekarang tidak lagi. Kemudian UU ini juga melindungi tidak hanya pekerja tetapi juga keluarganya.

Ada 27 peraturan pelaksanaan yang diamanatkan untuk dibuat peraturan badan, peraturan menteri dalam dua tahun terakhir ini. Kalau kita lihat yang sudah-sudah, membuat peraturan pelaksanaan itu panjang biasanya. Dan UU baru ini memberi amanat dua tahun. Sudah hampir habis ini dua tahun. Oktober 2019 harusnya sudah ada 27 peraturan pelaksanaan. Prakteknya belum ada, sepuluh saja belum ada. Ini yang repot ya. Cara-cara kerjanya lambat ini, membuat peraturan-peraturan pelaksanaan apalagi setahun terakhir ini sibuk kampanye semua pejabat itu. Ini UU, yang pertama.

Peran Pemerintah Daerah

Yang kedua, peran pemerintah daerah dalam perlindungan pekerja migran asal Indonesia. Tadi kan disebut ya, adanya semangat desentralisasi. Peran pemerintah daerah mulai dari provinsi sampai desa itu sekarang besar. Pemerintah daerah diharapkan tidak hanya menonton migrasi itu berlangsung, tetapi ikut mengawasi, ikut melindungi migran.

Misalnya pendidikan atau pelatihan itu dilakukan di daerah, bisa bekerjasama dengan lembaga swasta yang terakreditasi. Nah, ini sebenarnya peluang, peluang untuk lembaga-lembaga gereja, lembaga-lembaga pendidikan kita.

Yang dibutuhkan itu apa? BLK, Balai Latihan Kerja. Daripada pemerintah membuat BLK yang mahal, mulai dari membangun gedung, mengisinya dengan alat atau mesin, menyewa instruktur atau mendatangkan instruktur, mengapa tidak memakai SMK-SMK yang sudah ada, SMK baik milik pemerintah maupun milik lembaga pendidikan gereja.

SMK itu siang sudah kosong. Siswa sudah pulang semua. Mengapa tidak dipakai sore hari untuk menyelenggarakan latihan keterampilan bagi calon migran ini. Mesin-mesin sudah ada, alat-alat sudah ada. Instruktur sudah ada, mengapa harus membuat yang baru. Maka ini peluang bagi lembaga-lembaga gereja untuk menjadi mitra pemerintah, menawarkan fasilitas dan keahlian.

Lalu, bicara mengenai pemerintah, unit paling kecil yaitu pemerintah desa. Pemerintah desa ini perannya adalah menyediakan informasi mengenai migrasi, lalu memverifikasi data kependudukan orang yang mau bermigrasi, menyediakan dokumen kependudukan, lalu mengawasi jangan sampai ada calo keluar masuk desa. Ini sudah dilarang oleh UU. Yang boleh menyampaikan informasi mengenai peluang kerja itu adalah aparat desa. Bukan orang luar. Maka aparat  desa punya wewenang yang besar atas amanat UU yang baru ini.

Konsensus Regional

Lalu aturan yang ketiga adalah aturan yang melindungi di tingkat regional Asean, kerjasama negara-negara Asia tenggara ini. Beberapa saat yang lalu, tahun 2017 disahkan yang namanya Asian Consensus on the Protection and Promotion of the Right of Migrant Workers. Konsensus Asean untuk perlindungan hak-hak buruh migran.

Ini alot prosesnya. Negara-negara Asean yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand bekerjasama membuat perlindungan untuk migran yang melewati perbatasan mereka. Kebanyakan migran asal Indonesia, nomor satu itu bekerja di Malaysia, nomor dua bekerja di Arab Saudi. Nah, bekerja di Malaysia ini kan negara tetangga dekat, masih dalam kerangka keluarga Asean, mengapa tidak bekerjasama melindungi.

Rupanya sulit sekali prosesnya, negosiasi sampai sepuluh tahun. Mengapa sepuluh tahun hanya untuk membuat konsensus? Karena ada tiga masalah.

Pertama, negara-negara penerima yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam keberatan kalau konsensus ini meliputi migran tanpa dokumen. Mereka tidak mau migran tanpa dokumen ini dilindungi oleh konsensus. Makanya mereka alot sekali. Sementara negara-negara pengirim menghendaki agar konsensus ini melindungi semuanya tanpa kecuali.

Poin kedua yang membuat alot negosiasinya adalah karena mereka, negara penerima, tidak mau melindungi keluarga migran. Mereka hanya mau melindungi satu individu saja, yaitu migran. Seperti Malaysia yang tadi saya sebut ya, keluarga tidak diakui di sana. Mereka tidak mau konsensus ini melindungi keluarga.

Lalu poin ketiga, negara-negara ini juga tidak mau bahwa konsensus ini mengikat secara hukum, jadi kalau mereka melanggar ada hukumannya. Tidak mau negara-negara ini. Maka butuh waktu lama untuk negosiasi sampai akhirnya tercapai kesepakatan.

Dari tiga masalah itu hanya satu yang terpenuhi yaitu konsensus ini melindungi keluarga migran, tetapi tidak melindungi migran tanpa dokumen. Jadi migran asal NTT tetap tidak dilindungi oleh konsensus ini. Kemudian, yang kedua tidak mengikat secara hukum. Konsensus ini sifatnya Gentleman Agreement. Dulu kamu janji to, itu sifatnya. Iya saya janji, tapi kan situasi saya tidak memungkinkan. Tidak ada hukuman, tidak ada sanksi untuk pelanggaran konsensus.

Konsensus ini melindungi kunjungan keluarga. Ini yang baik. Lalu melarang paspor itu ditahan oleh majikan. Paspor, dokumen-dokumen pribadi. Lalu mengakui hak berserikat dan melarang overcharging yaitu penarikan biaya migrasi yang berlebihan. Itu dilindungi oleh konsensus ini.

Nah, pada dasarnya dokumen ini lemah ya karena tidak mengikat secara hukum. Tetapi ini titik berangkat, mau nggak mau adanya ini ya mari kita mulai bekerja dengan ini. Nah, dokumen ini tidak mengikat, lemah, tetapi katanya ini living document. Dokumen hidup, masih akan terus diperbarui. Nah, moga-moga diplomasi pemerintah kita mampu mengawal proses negosiasi ini terus-menerus sehingga menambah proteksi, jenis proteksi.

Nah, kalau itu kan tadi kita omong pemerintah ya, ngomong negara. Sekarang gereja bagaimana? Di tingkat dunia, sekarang itu ada yang namanya Global Compact on Migration and Refugees. Ini inisiatif PBB yang disepakati dalam bulan Desember kemarin, 2018. Ini adalah usaha menanggapi darurat migrasi di seluruh dunia.

Di dunia ini ada tiga aturan migrasi yang berlaku secara hukum internasional yaitu Konvensi Genewa mengenai pengungsi, pengungsi itu seperti orang Timor Leste mengungsi ke Timor Barat, mengungsi karena konflik di negara asal, pindah negara. Kemudian Protokol Palermo, ini untuk korban perdagangan manusia, jadi orang yang berpindah lokasi untuk tujuan eksploitasi. Lalu yang ketiga adalah konvensi PBB 1990 yang tadi saya sebut mengenai migran, perlindungan pekerja migran. Jadi ada arsitektur atau infrastruktur hukum internasional mengenai migrasi itu ada tiga kelompok besar, yang mengatur pengungsi, yang mengatur korban perdagangan manusia, dan yang mengatur pekerja migran.

Ini semua produk lama dan dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan jaman. Maka perlu pembicaraan baru dan PBB menginisiasi yang namanya Global Compact on Migration and Refugees.

Vatikan, wakil kita di dunia internasional itu merespon dengan sangat antusias, dan kemudian memakai empat kata kerja ini, yaitu kita harus menyambut migran, melindungi migran, mempromosikan migran, mempromosikan itu sebenarnya melindungi dan mengusahakan yang terbaik untuk mereka dan mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat. Ini respon Vatikan.

Bahkan di bawah Paus Fransiskus ini, ada inisiatif dari Paus sendiri untuk memulai sebuah departemen baru di kementerian Integral Human Development. Kalau pemerintah kita itu punya istilah kementerian, maka di di negara Vatikan itu istilahnya dicastery. Nah, dicastery ini ada sebuah kementerian namanya kementerian pembangunan manusia integral.

Paus Fransiskus kemudian menunjuk dua orang menjadi orang yang menangani persoalan khusus migrasi dan pengungsi. Dulunya nggak ada. Tetapi karena kepedulian khusus Paus Fransiskus lalu membuat desk, meja khusus dan kemudian menjadi divisi khusus.

Dan baru-baru ini, Paus, atau kantor ini, dicastery of Integral Human Development khusus bagian migrasi dan pengungsi, mengeluarkan arahan pastoral tentang perdagangan manusia yang tadi disebut oleh Romo Yetra. Ini sudah bisa didownload, ya Romo ya, sudah diupload di website STIPAR, website komisi, komsos, nanti bisa didownload, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kalau mau mengenal fenomena perdagangan manusia secara ringkas dari perspektif gereja tetapi juga perspektif PBB, lembaga lembaga pelindung, bacalah dokumen itu. Pendek dokumennya, dan mudah dipahami.

Lalu khusus untuk Asia Pasifik ini utusan kantor dicastery Integral Human Development ini namanya Naoko Marwiamai. Saya tidak minta izin ke dia tapi saya cantumkan saja e-mailnya ya, karena saya yakin, saya kenal orangnya, dia akan dengan senang hati melayani kebutuhan informasi apabila ada kasus yang perlu advokasi di tingkat regional lewat Naoko Marwiamai.

Dan Naoko itu seorang perempuan, masih muda juga, dia setengah migran, karena ibunya orang Filipina, bapaknya orang Jepang. Ibunya bermigrasi ke Jepang, mendapat suami orang Jepang, anaknya nama Naoko Marwiamai. Dia punya pengalaman eksistensial sebagai migran, keluarganya ini. Lalu, dia bersama seorang Romo, Romo Ismail Chan Gonzaga, orang Filipina, saya juga kenal, dia seorang lawyer, ahli hukum. Bisa menghubungi dua orang ini untuk urusan migrasi, urusan pengungsi di kawasan Asia Pasifik.

Nah, saya mau menyebut kutipan Paus ini ya, mengenai perdagangan manusia. Perdagangan manusia itu menurut Paus seperti borok, open wound, luka terbuka di tubuh masyarakat kita, di tubuh gereja. Maka seperti borok, apa toh reaksi orang. Borok itu luka yang nggak sembuh-sembuh ya. Karena nggak sembuh-sembuh, kelihatan begitu apa reaksi kita, malu kan? Gak mau bergabung sama orang kan? Disembunyikan to? Tetapi semakin disembunyikan, termasuk disembunyikan dari dokter, semakin penyakit itu tambah parah. Maka mesti pertamanya harus apa? Transparansi, harus ditunjukkan, harus diakui bahwa itu terjadi.

Nah, apa strategi kita kalau sudah menemui persoalan perdagangan manusia ini? Saya mau menyampaikan prinsipnya dulu. Ada dua prinsip penting. Prinsip pertama, kita tidak mau melarang migrasi. Migrasi, berpindah tempat itu hak asasi manusia. Kalau kita melarang migrasi berarti kita melanggar hak asasi manusia. Itu prinsip pertama. Dan sebagai hak asasi, tugas kita adalah menjamin agar proses migrasi itu berjalan aman dan bermartabat. Jadi, prinsip pertama bukan melarang migrasi, tetapi prinsip kita adalah menjamin proses migrasi itu berjalan aman dan bermartabat mulai dari sebelum berangkat sampai pulang. Tugas kita semua yang tidak ikut migrasi ini adalah proses ini.

Yang kedua, kita mau mengusahakan pertama-tama perlindungan bagi buruh migran tanpa dokumen. Ya syukur-syukur mereka nanti berdokumen. Tetapi jangan sampai kita mengacaukan atau mencampuradukkan dokumen dan perlindungan. Perlindungan tidak boleh diskriminatif. Perlindungan itu harus kena ke semua orang baik berdokumen maupun tidak berdokumen. Karena perlindungan itu prinsipnya mengikuti hak asasi manusia. Hak asasi manusia kan tidak bergantung KTP. Orang punya KTP atau tidak punya KTP HAMnya sama. Itu hak yang melekat pada kita manusia begitu lahir langsung punya hak asasi manusia. Tidak perlu menunggu surat babtis, tidak perlu menunggu KTP tidak perlu menunggu paspor. Kita semua begitu lahir langsung punya HAM.

Maka perlindungan itu juga seharusnya melekat pada manusia tanpa peduli dokumen, tanpa peduli warna kulit, jenis rambut, merk-nya, capnya. Siapapun harus dilindungi. Maka ketika bicara migran tanpa dokumen hendaknya menurut saya pendekatannya pertama bukan menyediakan dokumen, karena tadi saya bilang, menyediakan dokumen, dokumen tidak sama dengan aman.

Pertama-tama, sediakanlah perlindungan, usahakan perlindungan. Dokumen itu alat untuk melakukan perlindungan. Kalau dokumen hanya selembar kertas kosong yang tidak punya kekuatan apapun, sebenarnya tidak ada gunanya. Harus saya katakan begitu. Dan ini sudah diakui di undang-undang yang baru ini. Dokumen migrasi itu hak, bukan kewajiban. Nah, ini perspektifnya harus dibalik.

Pemerintah selalu mengatakan, dokumen itu kewajiban para calon migran, mereka harus mengurus itu. Undang-undang ini sudah mengubah perspektifnya. Dokumen itu hak warganegara, bukan kewajiban. Dan karena itu hak warganegara, itu menjadi kewajiban negara untuk menyediakan dokumen. Berbeda ya, cara memandangnya. Kalau itu adalah kewajiban warganegara maka orang Ende dari Watuneso atau Raburia sana harus datang dulu ke kota untuk cari dokumen dokumen itu, karena itu kewajiban dia. Kalau itu hak dia, harus dibalik dong. Aparat pemerintahlah yang mendatangi, memenuhi kewajiban mereka menyediakan dokumen. Bukan saya yang ngomong, undang-undangnya begitu.

Nah, itu urusan negara. Urusan gereja apa? Beberapa tahun terakhir, ada inisiatif paroki ramah migran. Itu gereja hadir sebagai apa? Gereja tidak punya anggaran, menyediakan latihan pekerjaan, gereja tidak punya kekuatan, tidak punya aparat untuk melindungi. Tetapi gereja bisa hadir.

Nah, mahasiswa mahasiswi di sini nanti adalah garda terdepan gereja di tengah umat. Bukan Romo paroki, Romo paroki ya tinggal di paroki, di gereja. Urusannya kadang-kadang dengan dokumen, dengan surat ini surat itu, tapi yang ketemu langsung umat sehari-hari siapa? Anda semua, sebagai katekis, sebagai guru agama, atau sebagai anggota masyarakat yang pernah sekolah di sini. Anda semualah yang menghadirkan wajah gereja. Yah syukur-syukur kalau Romo Parokinya juga peduli sama kelompok-kelompok migran, sehingga gereja sungguh dirasakan hadir. Dengan begitu kelihatan ramah gereja itu dan memperhatikan. Hadir dulu sajalah. Dengan hadir nanti akan menangkap ada kebutuhan apa dari antara umat.

Dan yang kedua adalah desa ramah migran. Ini konteksnya adalah pemerintah. Desa, kelurahan, itu aparat pemerintah paling bawah. Mereka juga yang harus hadir sebagai benteng perlindungan, pertama, sesuai amanat undang-undang Nomor 18 tadi yang saya sebutkan, menyediakan dokumen kependudukan, mengawasi dan menyediakan informasi mengenai migrasi, pemberdayaan ekonomi dan menerima migran yang kembali. Itu adalah wewenang desa dan desa ini harus ramah migran juga. Karena banyak desa di sini adalah desa-desa yang penduduknya bermigrasi.

Kemudian, gereja juga perlu mengadakan kerjasama dengan Keuskupan dan organisasi masyarakat di tempat tujuan dan tempat transit. Tempat transit bisa di Entikong, di Nunukan, di Batam, dengan Keuskupan keuskupan. Lalu bisa juga dengan tempat tujuan yaitu di Malaysia. Entah itu Keuskupan Kuala lumpur, Keuskupan Penang, Keuskupan Sandakan dan seterusnya. Dan gereja nasional kita, KWI wakilnya, ini adalah penyambung suara NTT di tingkat nasional dan regional. Ini ada Romo Eko di sini sebagai sekretaris eksekutif komisi Keadilan Perdamaian dan Migran Perantau.

Lalu strategi ketiga adalah pemberdayaan ekonomi. Mengapa orang bermigrasi? Rata-rata mengatakan karena tidak ada pekerjaan di sini. Maka kita kalau tidak boleh melarang orang bermigrasi, supaya orang tidak mau bermigrasi, bagaimana? Ya kita harus menyediakan peluang ekonomi di kampung asalnya. Intinya begitu, dan harusnya berbasis sumber daya ekonomi lokal.

Sumber daya ekonomi lokal sekarang apa? Yang sedang ramai dibicarakan secara nasional adalah industri pariwisata. NTT ini saya kenal baik. Alamnya sungguh indah, potensi wisata budayanya luar biasa. Baru-baru ini saja sejumlah kenalan saya liburan ke Sumba selama satu minggu. Dan mereka sangat terkesan. Mereka tidak mengira bahwa Indonesia ini begitu indah, katanya. Tau begini sejak dulu saya ke sini, katanya begitu.

Ini jumlah turis atau potensi ekonomi untuk sektor ini meningkat drastis. Nah, siapa yang menikmati industri ini, kebanyakan sih orang Jawa. Orang Jawa yang investasi di NTT. Bikin hotel, bikin travel agent. Kenapa tidak orang NTT sendiri yang melakukan investasi. Untuk bekerja, model bisnisnya bisa memakai model bisnis koperasi, model bisnis desa wisata sebagai milik BUMDes. Dan itu potensinya besar apalagi sekarang dengan gadget ini kita bisa melakukan promosi langsung, tidak usah khawatir harus membayar mahal untuk iklan.

Jaringan gereja manfaatkan. Saya sudah lihat iklan Beberapa paroki di Jakarta yang mengadakan wisata religi di Flores sepanjang pekan suci, misalnya. Tapi yang mengelola orang Jakarta. Nah, jangan mau dibodohi orang Jakarta, setidaknya bermitralah. Berpartner yang seimbang. Orang NTT jangan hanya jadi sopirnya saja, jangan mau jadi tukang masaknya saja. Harus seimbang, harus jadi mitra investor dari jauh. Ya macam-macam ya bentuknya. Pelatihan teknis, pendanaan, pendampingan, pemasaran, memanfaatkan kebijakan desmigratif dari pemerintah, itu semua. Ada peluang peluang itu.

Para mahasiswa ini memang lulusan ilmu katekese. Katekese itu kalau dalam industri pariwisata itu kira-kira gunanya apa? Jangan khawatir. Banyak orang, majikan itu mempekerjakan orang bukan karena keterampilan teknis. Keterampilan teknis itu bisa dipelajari dalam tiga bulan. Mahasiswa mahasiswi saya misalnya di Sanata Dharma yang lulusannya itu lulusan sastra Inggris, lulusan ilmu pendidikan, yang bekerja sebagai guru tidak banyak. Mereka bekerja di banyak sektor lain.

Yang diperlukan apa? Keluasan wawasan, keterbukaan pikiran, keterampilan berjejaring. Nah, itu jauh lebih sulit diajarkan daripada keterampilan teknis. Imajinasi, kreativitas lebih sulit diajarkan daripada hitungan membuat laporan keuangan, membuat resep. Kreativitas itu lebih mahal dan lebih sulit. Dan anda kalau selama di tempat ini belajar mengasah kreativitas, itu adalah bekal termasuk untuk terlibat di sektor industri yang tidak langsung terkait dengan ilmu katekese ini. Ada banyak peluangnya.

Dan strategi yang terakhir adalah kembali ke porsi pemerintah, diplomasi luar negeri. Yang intinya pemerintah berani memberikan instrumen perlindungan yang lebih akomodatif. Beberapa tahun terakhir ini, Kementrian Luar Negeri kita itu sangat aktif. Harus kita akui bersama, ini prestasi pemerintah kita, wakil-wakil kita di luar negeri semakin aktif membantu para migran termasuk di Malaysia. Memang masih harus ada perbaikan di sana sini tetapi sudah sebuah langkah yang patut kita apresiasi bersama.

Kemudian ada moratorium, ini alat negosiasi sebenarnya. Mau nggak melindungi migran asal Indonesia di Malaysia. Kalau nggak mau kita stop migran asal Indonesia. Kelimpungan ekonomi Malaysia itu. Jumlah tenaga kerja asing di Malaysia itu besarnya 20% yang resmi. Kalau yang resmi saja hilang, ekonomi Malaysia kolaps. Apalagi yang tidak resmi ikut hilang. Ekonomi Malaysia akan runtuh. Sudah berkali-kali terjadi pemerintah Malaysia ketat mengawasi banyak PMI dipulangkan, seperti tahun 2001 dulu para pengusaha di Malaysia langsung teriak-teriak nggak punya pegawai. Ini alat negosiasi yang harus dimanfaatkan. Bukan untuk jualan manusia tetapi untuk menuntut perlindungan bagi migran kita. Dan kalau bikin MOU, itu bukan MOU bisnis, kontak atau perjanjian untung rugi tetapi MOU yang berbasis HAM, berbasis perlindungan.

Nah, saya mau mengakhiri presentasi saya ini dengan foto ini. Nah, kalau semua lihat ya, foto yang sebelah kiri ini saya ketemu dua belas orang asal desa Raburia yang dideportasi. Ada orang Raburia kan di sini? Ada. Ia dua belas orang yang saya jumpai di rumah singgah yang tadi saya sebut di Jakarta di Bambu Apus dekat taman mini. Mereka ditangkap di Perak di Malaysia tengah malam. Ada razia saat sedang mau pindah dari lokasi bangunan. Ini semua kuli bangunan mau pindah dari satu proyek ke proyek lain tengah malam. Tetapi kendaraannya dihentikan di tengah jalan, akhirnya mereka semua tertangkap.

 Dari dua belas orang ini ada tiga orang yang remaja baru umur tujuh belas enam belas tahun. Kemudian ada veteran yang sudah berkali-kali, empat kali keluar masuk Malaysia. Nah, mereka waktu itu dipulangkan, ditangkap bersama, dihukum bersama, dipulangkan bersama sehingga saya ketemu mereka bersama-sama dua belas orang.

Lalu akhirnya mereka dipulangkan ke Raburia lalu saya kunjungi mereka di desa, di Raburia, itu foto yang sebelah kanan. Sudah tertawa-tawa sekarang mereka karena mereka sudah pulang kampung. Ini pun yang saya tanya, beberapa dari mereka masih mau kembali ke Malaysia, ada terang-terangan mengatakan, mau Romo. Saya mau kembalilah. Di sini saya bisa makan, hasil kebun cukup. Tapi tidak bisa untuk sekolah, karena duit ya. Tidak bisa untuk adat, adat butuh uang.

Jadi migrasi itu di sini kebanyakan dipakai untuk dua keperluan itu, untuk sekolah, dan kalau ada yang sakit untuk biaya pengobatan dan untuk adat. Makan sebenarnya nggak masalah. Tanah Flores ini cukup tapi uang cash itu mereka dapatkan dari migrasi. Nah, dengan ini saya mau menutup presentasi ini, terima kasih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar